pendidikan

Pendidikan Lesu Karena Tak Tahu Arah Mau Kemana

Sabtu, 10 Mei 2025 | 21:10 WIB
Muhammad Nur Rizal (tengah) bersama peserta workshop GSM.

Krjogja.com - YOGYA - Lesunya masyarakat dalam merespons Hari Pendidikan Nasional di berbagai platform sosial media mencerminkan bahwa persoalan pendidikan di Indonesia belum menjadi kesadaran kolektif yang kuat. Ini menandakan bahwa pendidikan tidak dipandang sebagai hal krusial seperti isu politik dan ekonomi.

"Masyarakat belum merasa punya hubungan emosional atau urgensi atas kualitas pendidikan yang masih rendah selama dua puluh tahun lamanya," terang Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal, Sabtu (10/5/2025). Dalam merefleksikan momentum Hari Pendidikan Nasional, pada 2 Mei 2025, GSM menggelar workshop bersama wakil bupati, kepala dinas pendidikan dan diikuti oleh lebih dari 400 kepala sekolah setingkat SD dan SMP dari Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan.

GSM memandang lesunya animo publik terutama yang dirasakan kalangan guru dan anak muda, karena mereka apatis dengan gonta-gantinya kebijakan kementerian pendidikan yang tidak menyentuh ke akar masalah. Masyarakat memandang kebijakan baru sekedar ganti istilah atau program yang tampak blingsatan tidak punya arah mau dibawa kemana.

Baca Juga: Purna SMAN 1 Sewon, Lulus Jenjang Pendidikan Menengah Bukanlah Terminal Akhir

Dijelaskan Nur Rizal, kebijakan dan program kementrian seharusnya menguatkan fondasi berpikir dan budaya ilmiah siswa, yang sudah pasti memerlukan proses dan waktu tidak sebentar, bukan malah gonta ganti kebijakan yang tidak substantif. "Untuk itu, program pendidikan yang paling prioritas kita lakukan saat ini adalah kembali ke akar dan kebudayaan," katanya.

Lebih lanjut dijelaskan, yang dimaksud dengan kembali ke akar kebudayaan, adalah pendidikan harus kembali untuk menuntun kekuatan kodrat alam agar tumbuh sesuai dengan dunianya sendiri, seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Kodrat itu adalah rasa ingin tahu, kreativitas, dan potensi yang beragam. Tapi hal itu harus dijalankan dalam kebudayaan yang tidak mengekang guru.

"Kembali ke akar berarti memberikan kedaulatan penuh pada guru untuk berkreativitas dalam mengajar. Kebijakan dan ekosistem pemerintah harus memantik guru berani membongkar mentalitas terjajah atau budaya feodalisme selama ini, dan merebut kembali ruang kreativitas dan keberanian berpikir," kata Nur Rizal.

Baca Juga: Bangun Generasi Muda yang Sehat, Cerdas dan Berdaya, 'Gemas Kece' Diluncurkan

Menurutnya, guru penting diajak kembali ke akar sebagai manusia pembelajar, akar pedagogis sebagai penumbuh karakter, dan akar historis untuk memutus rantai penindasan kultural yang melahirkan manusia terpelajar namun terjajah secara jiwa. "Inilah jati diri bangsa sebagai pijakan untuk berkompetisi di ranah global," tandasnya.

Maka dari itu, kata Nur Rizal, GSM mengajak semua guru, anak muda dan masyarakat untuk turun membangun aksi rekonstruksi kesadaran kultural melalui beberapa kegiatan seperti Arisan Ilmu antar Guru, Gerakan Anak Muda Turun ke Sekolah, dan NgKaji Filsafat Pendidikan untuk menentukan arah dan peta jalan pendidikan dari kebutuhan akar rumput. (Dev)

 

Tags

Terkini

Perlu 7 Pilar Fondasi Sistematik Kinerja Aset

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:20 WIB

Lagi, Dr Sihabul Millah Pimpin IIQ An Nur Yogyakarta

Sabtu, 20 Desember 2025 | 20:30 WIB

Menemukan Rumah Kedua di Sekolah Rakyat

Sabtu, 20 Desember 2025 | 17:10 WIB