Tiba-tiba saja selepas ujian kejar paket dan bertemu kawan-kawannya, Lala meminta ke orang tua untuk berkuliah. Kembali bergabung dengan teman temannya yang tidak berkebutuhan khusus.
“Kami kemudian berpikir. Ada baiknya memang dia kuliah. Saran dari hasil tes IQ, mengambil jurusan bahasa. Akhirnya diambillah bahasa yang belum ia kuasai, yaitu Pendidikan Bahasa Jerman,†ungkap Patricia sembari menyebutkan bahwa jurusan tersebut memang hanya tersedia di UNY.
Selama perkuliahan, dosen dan teman-teman Lala sangat suportif membantunya belajar. Bahkan Lala kerap dijadikan rebutan apabila terdapat tugas beregu ataupun dalam pembentukan kelompok.
“Jadi lingkungan di UNY inklusif. Ada dua alasan sebenarnya. Pertama karena Lala masih imut, anak usia 15 tahun, dan kedua karena Lala cepat belajarnya. Setahun belajar Jerman, dia sudah fasih,†kenang Patricia.
Kepada KRjogja.com Patricia Taslim mengungkapkan rasa syukurnya bisa menyadari kondisi Lala sebagai anak berkebutuhan khusus 'gifted' sejak awal. "Di luar sana masih banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa anak mereka sebenarnya jenius. Anak-anak itu justru dicap nakal, aneh, bahkan autis, padahal anak gifted dan autis berbeda penanganannya," kata Patricia.
Atas dasar itulah, Patricia kemudian mendirikan Parents Support Group for Gifted Children (PSGGC) Yogyakarta lima tahun lalu untuk menjadi wadah komunikasi orangtua yang anak-anaknya terindikasi 'gifted'.
Bahkan untuk memperingati ulang tahun PSGGC, ia mengadakan pameran 36 lukisan karya anak-anak 'gifted'. Pameran yang bertajuk  'Seni Membuka Imaji', berlangsung 21 Agustus - 21 September 2019 di Ruang Xaverius PGSD Lantai 3 Universitas Sanata Dharma. (Ilham Dary Athalah)