Krjogja.com - SLEMAN - Perjalanan hidup Muhammad Suryo menjadi bukti bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk memberi manfaat besar bagi masyarakat. Alumni UPN Veteran Yogyakarta ini menerima Penghargaan Alumni Peduli dari Rektor UPN Veteran Yogyakarta pada Sabtu (13/12/2025) malam, atas dedikasinya menciptakan ribuan lapangan kerja dan kontribusinya bagi masyarakat luas.
Suryo mengenang masa-masa sulit saat pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta pada 2002. Datang dari Bengkulu, ia menempuh pendidikan di UPN Veteran Yogyakarta, Fakultas Pertanian, dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan.
Ia tinggal di kamar kos ukuran 3x3 meter bersama tiga orang, tidur beralas karpet tanpa kasur, dan menjalani kuliah dengan naik bus umum selama tiga semester. "Waktu itu mahasiswa yang naik bus sudah sedikit. Teman-teman lain sudah pakai motor atau mobil," kenangnya ketika berbincang dengan wartawan usai menerima penghargaan di Auditorium WR Supratman UPN Veteran Yogyakarta.
Baca Juga: Keberadaan Pranatacara Jawa Tetap Memiliki Peran Penting
Nilai akademiknya sempat terpuruk. Indeks Prestasi (IP) hanya 1,3, membuat orang tuanya tak lagi mampu membiayai kuliah. Ayahnya yang berprofesi sebagai guru bahkan sempat menjual motor, bahkan kebun, demi mendukung pendidikan sang anak.
Namun kondisi tersebut justru menjadi titik balik. Memasuki semester empat, Suryo memulai usaha jualan galon air isi ulang, sembari menjadi sopir mobil rental. Dari usaha sederhana itu, ia mengantongi sekitar Rp50 ribu per hari atau Rp1 juta per bulan, belum termasuk penghasilan dari menyopir rental yang bisa mencapai Rp3–5 juta per bulan.
"Motor yang dibelikan bapak saya kembalikan. Saya minta modal Rp5 juta untuk usaha air isi ulang," lanjut pengusaha yang sudah bermukim di Jogja ini.
Kerja keras itu berbuah hasil. Pada 2006, saat masih semester delapan, Suryo sudah memiliki beberapa unit mobil rental. Usaha galon air ia jalani selama tiga tahun, menjadi fondasi awal pengembangan bisnisnya.
Lahir di Lampung, 27 Maret 1984, dan besar di Bengkulu, Suryo merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, keturunan Jawa dari keluarga transmigran. Sejak remaja, ia sudah terbiasa berdagang, mulai dari kalender hingga kopi.
Perjalanan usahanya tak selalu mulus. Pada 2006, ia sempat ditipu hingga Rp40 juta, bahkan harus menjual satu unit mobil. Saat gempa terjadi, di tengah keputusasaan, justru datang peluang besar.
Ia dipercaya menyediakan mobil untuk kebutuhan penyaluran bantuan gempa. Dari proyek itu, usahanya kembali bangkit hingga memiliki empat unit mobil. "Usaha saya seperti roller coaster. Jatuh, tapi tidak lama selalu ada jalan," lanjutnya.
Pada 2008, Suryo mendirikan dealer mobil Hyundai di Bengkulu dengan modal tabungan miliaran Rupiah. Namun dua tahun berselang, usaha itu bangkrut dan menyisakan utang hingga Rp26 miliar.
Di masa terpuruk tersebut, dukungan orang tua kembali menjadi kekuatan utama. "Bapak saya selalu puasa Daud. Support itu luar biasa," tuturnya.