Krjogja.com - SLEMAN - Desainer kondang Bai Soemarlono atau yang akrab disapa Bai Populo bersama tujuh penari membawakan Bedhaya Asthadikpalaka ditengah keheningan malam di Kalasa Sleman, Jumat (30/12/2022). Perancang busana kelas internasional yang juga dikenal sebagai penari ini menarikan Bedhaya Asthadikpalaka dengan penuh penghayatan. Hampir selama 30 menit Bai Populo menari tanpa henti hingga iringan gamelam menutup malam.
Bedhaya Asthadikpalaka merupakan tari klasik yang diciptakan sendiri oleh Bai Populo. Tari ini diluncurkan dihadapan pecinta seni tepat pada perayaan hari ulang tahun Babi Populo ke-60 di Ohmmstay Kalasan Sleman Yogyakarta.
Bai Populo mengatakan Bedhaya Asthadikpalaka ia ciptakan sejak tahun 2021. Menurutnya perlu proses panjang untuk menyatukan cipta, karya dan karsa sehingga Bedhaya Asthadikpalaka bisa terlahir sebagai tarian yang sakral.
"Tari ini menceritakan kehidupan saya sejak remaja, dewasa sampai usia saat ini. Semua sudah saya lewati. Dalam kehidupan itu ada baik dan jelek, tergantung mana yang dominan dalam hidup kita," kata bai Populo usai menarikan Bedhaya Asthadikpalaka.
Bai Populo mengungkapkan, Bedhaya Asthadikpalaka bermakna delapan dewa yakni Indra (timur), Agni (tenggara), Yama (selatan), Niritti (barat daya), Baruna (barat), Bayu (barat laut), Kubera (utara), dan Iqana (timur laut). Delapan dewa inilah yang menjaga dunia dari delapan penjuru mata angin.
"Saya merasa jiwa saya lain saat menarikan Bedhaya Asthadikpalaka. Suasananya sangat sakral," imbuhnya.
Dalam membawakan Bedhaya Asthadikpalaka ini Bai Populo dibantu I Made Christian Wiranata Rediana dan Lantip Kuswaladaya. Sementara itu untuk iringan musik ditangani Anon Suneko.
Bai Populo akan terus mengalirkan darah seninya baik itu dalam rancang busana maupun tari yang telah laga ia geluti. Hanya saja Bai Populo dalam menjalaninya kini tak akan ngoyo dan dengan mengalir saja seperti air yang mengalir.
Kakak kandung Bai Populo, Liliek Soemarlono mengatakan pentas tari ini juga untuk memperingati setahun meninggalnya sang ibunda Tien Soemarlono. Saat masih hidup, Tien Soemarlono selalu menggelar kegiatan seni di rumah dengan mengundang warga sekitar
"Bahkan Mbah Kakung kami pembuat wayang kulit dan menciptakannya di rumah ini. Ibu saya sangat mencintai budaya Jawa, maka tak heran jika adik saya juga melakukannya," kata Liliek Soemarlono. (*)