TIDAK semua impian jadi kenyataan. Tuhan punya alasan ketika tidak mengabulkan keinginan seseorang.
Dewi Latifah begitu terobsesi jadi pemain tim nasional sepakbola putri Indonesia. Maka ia aktif berlatih di klubnya Putri Mataram Sleman. Sayang, angan tersebut tak terwujud. Toh begitu Latifah tidak kecewa. Tuhan mengganti dengan kesempatan tak kalah hebat, pun berskala nasional.
Gadis kelahiran 12 Oktober 1994 ini tercatat sebagai wasit nasional. Latifah jadi sosok penting dalam pertandingan sepakbola. Pengadil di lapangan. Pengalaman istimewa warga Kramatkidul Sidoarum Godean Sleman ini, dipercaya memimpin final Liga 1 Putri tahun 2019.
"Ya, sekarang konsentrasi jadi wasit. Tahun 2009 di Putri Mataram. Latihan tiga bulan langsung ikut Porda, dapat perunggu. Banyak event sepakbola yang saya ikuti, dan mayoritas juara. Jadi sudah tumek kalau main bola," terang Latifah.
Mencoba ikut lisensi wasit C3 tahun 2013. Namun saat itu Latifah masih belum fokus. Karena masih main bola dan punya impian jadi pemain timnas. Dua tahun kemudian ikut lisensi wasit C2. Tahun 2018 Asprov DIY mengadakan tes wasit di bawah usia 25 tahun. Latifah ikut. Lolos. Lalu mendapat tugas nasional meski belum berlisensi nasional.
Latifah kaget saat mendapat bayaran yang menurutnya sangat besar saat menjadi wasit nasional. Realitas tersebut membuatnya terpacu dan serius menjadi wasit.
"Tahun 2019 lisensi C1 nasional di Jakarta, lolos. Lalu tes Elit Pro Academy, juga lolos. Ternyata hidup saya di sini. Tidak menjadi pemain sepakbola nasional, tapi wasit nasional," papar putri Ngaliyo Wibowo (alm) - Wagirah (alm) itu.
Ada perbedaan signifikan antara menjadi pemain dan wasit sepakbola. Menurutnya, jadi wasit lebih menantang. Ada tekanan berbeda tiap pertandingan di laga krusial dan menentukan. Tekanan ofisial, pemain, dan penonton.
Tak banyak wasit sepakbola perempuan. Maka respons yang bermunculan juga beragam. "Macam-macam sambutannya. Ada yang meremehkan. Tapi ada pula yang respek," ujar Latifah selalu mempelajari tim, tipe bermain, pemain, pelatih, sebelum memimpin pertandingan.
Pengalaman terkenang saat ikut ujian lisensi C1 nasional. Dari 35 peserta seluruh Indonesia, Latifah satu-satunya perempuan. Latifah bangga dengan profesinya.
"Profesi wasit sepakbola Indonesia sudah berkembang. Wasit andil di situ. Wasit tak dipandang sebelah mata," ungkap Latifah yang sehari-hari menjaga warung angkringan milik teman di sebelah lapangan tenis Pemkab Sleman, Beran Tridadi Sleman.
Ditambahkan Latifah, perempuan wasit sepakbola di DIY ada delapan. Satu sudah tidak aktif, satu akan pindah ke Medan. "Yang lisensi nasional saya dan teman yang asli Medan, kuliah di Yogya itu," tandasnya. (Latief Noor Rochmans)