PANDEMI Covid-19 'meluluhlantakkan' banyak agenda rutin di masyarakat. Demi menghindari risiko wabah korona, banyak acara yang harus dibatalkan. Tak dilaksanakan.
Namun tidak semua. Ada yang tetap diadakan, karena menyangkut tradisi waris yang diyakini tak boleh ditinggalkan. Saparan Ki Ageng Wonolelo, misalnya.
Diam-diam, acara tersebut telah dilaksanakan, Kamis (01/11/2020) malam. Jika biasanya dihadiri ribuan pengunjung dari berbagai wilayah, acara Saparan Ki Ageng Wonolelo minggu lalu hanya diikuti 50 orang. Mayoritas warga Pondok Wonolelo 1 Widodomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Hanya beberapa peserta yang dari luar.
Acara inti yaitu tahlilan di makam Ki Ageng Wonolelo. Juga pengumpulan lima pusaka peninggalan tokoh sakti keturunan raja Brawijaya 5 tersebut.
Ki Ageng merupakan orang pertama yang babat alas di daerah tersebut. Setelah membersihkan hutan, kemudian menetap di tempat tersebut, yang akhirnya dinamai Dusun Pondok Wonolelo 1.
Dusun Wonolelo awalnya sangat 'menderita'. Tanah tak bisa ditanami. Sulit mendapatkan air. Mengalami perubahan setelah warga membangun makam Ki Ageng, dan membuat sumur di dekat makam.
"Dulu tidak ada sumur di dusun ini. Digali sampai dalam tidak keluar airnya. Warga mencari air dari tetangga dusun yang jauhnya dua kilometer. Pernah ada yang mencoba bikin sumur, yang keluar bukan air tapi darah," terang Juritno (47), trah Ki Ageng Wonolelo.
Persoalan akhirnya tuntas setelah Sihono, bapak Juritno, melakukan tirakat yang bisa dibilang konyol. Sihono minta dirinya diturunkan ke sumur yang telah digali, namun belum juga keluar airnya. Sihono nekat, apapun yang akan terjadi dihadapi, demi kehidupan warga.
"Setelah tiga hari, Bapak mendapat petunjuk, jika itu memang keinginan warga (punya sumur), diperkenankan. Ada bisikan memecah batu di dalam sumur. Setelah dipecah, benar-benar keluar airnya," papar Juritno. Kejadian tersebut sekitar tahun 1964/1965.
Tentu saja munculnya sumur itu setelah warga membangun sumur di dekat makam Ki Ageng Wonolelo. Keanehan lain, sebelum makam Ki Ageng Wonolelo dibangun, banyak warga yang tidak berani membangun rumah tembok. Jika ada yang nekad, selalu ada kejadian. Bila tidak cepat meninggal, orang bersangkutan jiwanya terganggu.
Keajaiban juga terjadi tatkala pembangunan makam. Warga, kata Juritno, sepakat bikin ukuran 8x8 meter. Namun setelah diukur hanya ada 6 meter. Anehnya, setelah jadi pondasi, diukur sesuai keinginan: 8x8 meter.