TERORISME masih menjadi ancaman di Indonesia. Bahkan ketika terjadi pandemi Corona, gerakan terorisme tak mengalami 'lockdown'. Mereka, menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar, ada indikasi tetap ‘bermain’. Bahkan masa pandemi dijadikan celah dan peluang untuk menjalankan missi.
“Dari hasil penelusuran aparat penegak hukum, mereka (kelompok teroris) ada yang 'kedapatan'. Dan itu menjadi sebuah proses yang dijalankan. Jadi kalau dikatakan tidak ada, ternyata ada yang melakukan tindakan hukum. Artinya dalam keadaan pandemi, mereka tidak berhenti. Oleh karena itu kewaspadaan dari semua masyarakat harus kita kembangkan. Tingkatkan kewaspadaan kepada pihak-pihak yang akan melakukan tindakan destruktif yang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama dan ajaran luhur bangsa,†papar Boy Rafli ketika berkunjung ke Ponpes Ora Aji, Tundan Purwomartani Kalasan, Sabtu (4/7) sore.
Ada perkembangan menarik, aksi radikalisme bergerak sendiri-sendiri. Menurut Boy Rafli, ini tak lepas dari propaganda oleh kelompok yang kita kenal sebagai ISIS di Timur Tengah. “Sekarang ada seribu lebih masyarakat kita yang bergabung dengan mereka (ISIS) di Timur Tengah. Mereka merasa punya kemiripan satu ideologi dengan mereka yang mengajaknya ke sana. Apabila tidak mampu pergi ke sana, mereka bisa melakukannya di negara masing-masing. Termasuk anak-anak kita yang berhasil mereka pengaruhi melalui komunikasi media sosial. Oleh karena itu media sosial menjadi suatu hal yang harus sama-sama kita jaga, agar kontennya (tidak) justru membahayakan, mencelakakan anak-anak Indonesia,†jelasnya.
Persebaran konten sosial media yang bertentangan dengan ideologi dan ajaran agama, menurut Boy sangat masif. Dunia maya, menurut mantan Kapolda Papua ini, merupakan dunia tanpa batas. “Belum tentu konten yang mereka sebarkan itu dibuat di Indonesia. Tetapi yang menjadi korban adalah anak-anak muda Indonesia. Mereka mendapat janji-janji yang keliru, yang tidak sebenarnya. Contohnya, mereka dijanjikan jika datang ke sana dibayar 2 ribu dolar perbulan, Tetapi tidak, nyatanya. Bahkan mereka menderita di sana,†lanjut Boy Rafli.
Di antara masyarakat Indonesia yang bergabung dengan kelompok terorisme di Timur tengah tersebut, sebagian adalah anak-anak asal Indonesia usia di bawah 10 tahun, Saat ini menurut Boy, ada seratusan anak Inodneisa di camp pengungsian.
“Kalau sudah begini, siapa yang bertanggungjawab? Ini pasti orangtuanya yang terkena godaan. Seolah-olah itu merupakan wilayah berjuangan, berjihat., sebagai bentuk amaliah mereka. Ada janji di situ, masuk surga, matinya mati sahid. Mereka tidak menyadari. Menurut mereka membela kepentingan kelompok tertentu. Padahal lebih bagus kita membela negara saja. Membela negara sendiri di sini. Banyak hal yang bisa dikerjakan,†kata Boy panjang lebar.
Sebelumnya, pada Jumat (26/6/2020) malam, jenderal polisi bintang tiga ini melakukan bincang-bincang besama Pengasuh Ponpes Ora Aji, Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah) dalam program podcast dipandu Deddy Corbuzier. Dalam bincang-bindang tersebut dibahas kerjasama antara BNPT, kalangan ulama dan figur publik dalam mengikis berbagai paham radikal yang berkembang di masyarakat.
Menurut Gus Mitah, ada kesamaan antara dia dengan Kepala BNPT. “Saya selalu mengatakan, agama tidak pernah mengajarkan radikalisme. Agama tidak pernah mengajak melakukan terorisme. Tetapi banyak oknum yang menggunakan agama sebagai alat untuk teroris dan radikalis. Maka di sini dibutuhkan pemahaman yang benar kepada masyarakat melalui media sosial maupun pengajian langsung yang saya lakukan. Dan saya berharap ke depan, apa yang selama ini saya lakukan sendiri, Alhamdulillah dapat dukungan dari BNPT. Kita akan bersinergi yang memang kita punya visi dan missi yang sama soal kebangsaan,†kata Gus Mitah. (Dar)