MAU tahu kira-kira seperti apa kondisi negara Arab saat merebaknya Korona belakangan? Apa yang mereka lakukan? Apakah kocar-kacir dan kebingungan menghadapi kenyataan? Aneka pertanyaan tersebut besar kemungkinan akan terjawab dalam novel besutan M Aji Surya dan Ahmad Mina RA yang berjudul ‘Lockdown : Asa, Cinta dan Zahira’ yang akan diluncurkan medio Juni 2020 ini.
Dalam novel yang terbit dalam bentuk e-book di google play itu, M Aji Surya, diplomat asal Gentan Sleman ini mencoba menfiksikan banyak hal, namun relatif bisa diasosiasikan dengan kenyataan tertentu. Corona yang menghantam negeri-negeri di Timur Tengah tersebut juga membuat pemerintah dan masyarakat menghadapi kesulitan dalam skala yang luar biasa. Bahkan untuk menopang kehidupan rakyat yang terdampak, pemerintah harus utang ke lembaga keuangan internasional.
Salah satu yang unik adalah pelaksanaan jam malam. Suatu kurun waktu di mana penduduk tidak boleh keluar rumah sama sekali, kecuali karena alasan yang sangat urgent seperti sakit dan beli obat. Polisi berjaga di mana-mana dan siap mencegat siapapun yang bepergian. Bahkan bagi pelanggar, siap-siap saja membayar jutaan rupiah atau menginap di hotel prodeo alias penjara.
Jam malam, sesuai namanya, dimulai dari sore hari menjelang petang dan berakhir di pagi hari. Keadaan malam digambarkan sangat sunyi, sepi dan mengiris kalbu. Hanya sesekali terdengar suara sirine mobil ambulans yang membelah kota. Saking sepinya, suara angin bisa terdengar dari dalam rumah.
â€Hal ini pasti waktu-waktu yang sangat menyulitkan bagi banyak orang. Bisa dibayangkan, orang Arab biasa hidup di malam hari. Bahkan tidak tidur semalaman. Dengan adanya jam malam, mereka harus masuk rumah lebih dini dan hampir tidak melakukan kegiatan apapun. Mengubah habit inilah yang merupakan tantangan sangat berat,†ujar Aji Surya yang juga Wakil Dubes RI di Mesir.
Malam-malam pada jam malam digambarkan layaknya kuburan saja. Yang berkeliaran ternyata adalah anjinganjing liar. Merekalah pemilik kota sesungguhnya. Lolongannya terdengar nyaring dari sore hingga pagi. Seolah mereka saling sapa dan melakukan konferensi guna membahas banyak hal.
Maklumlah, di beberapa negara Arab yang menganut mazhab Maliki, air liur anjing tidak dikatagorikan najis sehingga mereka bisa berkeliaran seperti kucing di Indonesia saja. Bahkan di beberapa kota, terdapat ratusan anjing yang dapat dilihat setiap hari.
Jam malam menjadi lebih merupakan ironi saat datangnya Ramadan. Bulan yang kadang dikatakan identik dengan pesta rohani dan badani. Kalau sebelumnya mereka aktif zikir serta salat malam dilanjutkan dengan makan-makan di taman hingga pagi, semua itu harus diubah total pada saat pandemi. Social distancing dan jam malam menjadikan kehidupan mereka menjauh dari tradisi yang sudah dilakukan berabadabad.
Yang unik dengan jam malam ini ketika warga harus berurusan dengan kesehatannya, seperti urusan rumah sakit. Terjadi begitu banyak kompleksitas sehingga hidup menjadi sangat sulit. Belum lagi prosedur rumah sakit di masa Covid-19 ini sangat berbeda dengan saat-saat normal. Sangat birokratis dan membuat si sakit semakin menderita.
Melalui novel ini pembaca diajak menikmati berbagai suasana dan peradaban Arab kuno yang masih hidup hingga saat ini seperti suasana kafe, cara hidup mereka, alam, kuburan, musim, termasuk fenomena unik berupa badai debu. Semua dirangkai dalam sebuah cerita menarik dengan balutan rasa, logika dan tentu urusan Korona.
Royalti dari novel yang disingkat LACZ tersebut seluruhnya akan diabdikan untuk penanggulangan Covid-19. Kedua penulis mengaku karena diniatkan untuk amal, semangat untuk segera menyelesaikannya pun menjadi sangat kuat.
Menurut keduanya, cerita yang terkandung dalam novel pada dasarnya dimaksudkan untuk menyampaikan ke publik sebuah pesan tentang kemampuan manusia dalam menghadapi masalah baru, beradaptasi dan bahkan memenangkannya. Sebagai makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan, manusia harus tegar dan melakukan aneka inovasi agar tetap survive dalam membangun peradaban-peradaban baru. (Fie)