JIKA mau mengakui, bukanlah salah generasi muda jika sekarang enggan aktif berkecimpung di kesenian tradisi, seperti halnya ketoprak. Jangankan secara langsung praktik ngetoprak. Sedang untuk melihat pentas kesenian tradisi tersebut tidak sedikit yang menggelengkan kepala.
"Kalau bagi saya hal itu wajar. Sekarang penghalangnya banyak. Mau cari hiburan dimana saja dan kapan saja bisa," tutur pemain ketoprak senior RRI Yogyakarta yang moncer di era 80-90an, Djamijo kepada KR, akhir pekan kemarin.
Pria 69 tahun tersebut menambahkan, menerawang masa lalu kebanyakan hiburan yang ada di masyarakat didominasi ketoprak. Bahkan tiap kali ada percakapan di berbagai tempat, bahkan di areal persawahan saat sedang menggarap lahan pun juga tentang pentas ketoprak. Tentu kondisi ini sudah jauh berbeda sekarang karena ketoprak tidak lagi menjadi topik pembicaraan serius di tengah masyarakat.
"Tugas bersama untuk kembali memasyarakatkan ketoprak," ucap warga Sikepan Bangunjiwo Kasihan Bantul ini.
Sedang Djamijo sendiri mengawali sebagai pemain ketoprak dari panggung amatir di kampung sejak tahun 1965. Setelah itu ia tampil di berbagai pentas hingga mengikuti lomba antar kecamatan. Pada 1983, karena bakat dan kemampuannya Djamijo ditarik masuk sebagai pegawai RRI Yogyakarta. Sejak itulah ia terlibat dalam produksi Ketoprak Mataram RRI Yogyakarta hingga purna tugas 2005.
Namun sejak masa pensiun itu, nama Djamijo seperti hilang dari peredaran. Namun mulai tahun 2016 ini ia kembali dilibatkan dalam produksi ketoprak radio yang kembali dibangkitkan Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogyakarta. "Dari dulu saya biasa 'didapuk' jadi 'tiyang sepuh'. Karena itu akhirnya terbawa di kehidupan yang harus memiliki wawasan kejawen," tuturnya. (M-5)