Warga Sleman Korban Erupsi Merapi 2010 Terancam Kehilangan Lahan Transmigrasi di Konawe Selatan, Minta Bantuan Sultan Turun Tangan

Photo Author
- Minggu, 15 Juni 2025 | 18:35 WIB
Totok Daryanto (tengah) bersama Kabag Hukum Pemkab Sleman saat memberikan pernyataan (Harminanto)
Totok Daryanto (tengah) bersama Kabag Hukum Pemkab Sleman saat memberikan pernyataan (Harminanto)

Krjogja.com - SLEMAN - Anggota Komisi XII DPR RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Totok Daryanto, menerima laporan mengenai konflik lahan yang dialami warga transmigran asal Sleman dalam kunjungan kerjanya ke Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, pada 12 Mei 2025. Laporan disampaikan secara lisan oleh warga usai sesi sosialisasi kebijakan lahan biomassa,
dan berisi keluhan terkait belum terpenuhinya hak atas lahan yang dijanjikan sejak penempatan mereka di UPT Arongo, Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto Barat, pada 28 November 2011.

Sebanyak 25 kepala keluarga atau 98 jiwa asal Sleman direlokasi ke kawasan tersebut sebagai korban erupsi Gunung Merapi 2010 melalui program resmi transmigrasi. Warga menyatakan hingga kini mereka belum menerima lahan seluas dua hektare per keluarga sebagaimana tercantum dalam nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah.

Baca Juga: 2.569 umat Buddha ikuti pembacaan kitab Dhammapada secara serentak

"Dalam nota kesepahaman antara warga dan pihak dinas, setiap keluarga berhak atas lahan seluas dua hektare lengkap dengan sertifikat. Kami menerima aduan tersebut saat kunjungan kerja. Namun, hingga kini, lahan yang tersedia baru terealisasi seluas 312 hektare dari rencana total 1.500 hektare. Warga baru menerima satu hektare dari janji dua hektare," ungkap Totok saat bertemu media, Minggu (15/6/2025).

Dari 312 hektare tersebut, dikatakan Totok, 250 hektare dialokasikan untuk warga transmigran luar daerah dan 52 hektare untuk warga lokal. Jumlah total penerima manfaat mencapai 500 kepala keluarga, sehingga rata-rata lahan yang diterima jauh di bawah standar yang dijanjikan.

"Sejak tahun 2015, warga menghadapi konflik tumpang tindih lahan dengan perusahaan sawit PT. Merbau Jaya Indah, yang diketahui memiliki izin lokasi di atas sebagian lahan garapan warga. Warga melaporkan bahwa sekitar 40 hektare dari lahan mereka telah digusur tanpa proses musyawarah, dan hal ini disaksikan langsung oleh kepala desa setempat. Ini bukan bidang saya di Komisi XII tapi urusannya adalah mereka warga dari dapil saya di DIY," lanjut Totok.

Baca Juga: Gumpang Sering Banjir, Ternyata Tumpukan Sampah Sumbat Saluran Air

Akibatnya, luas garapan warga menyusut menjadi sekitar 272 hektare. Kondisi semakin memanas ketika penggusuran kembali terjadi pada periode Agustus hingga Desember 2023. Warga menyebutkan bahwa tindakan perusahaan dilakukan secara terang-terangan, dengan kehadiran aparat desa dan perusahaan, tanpa mediasi atau perundingan terlebih dahulu.

Konflik ini telah menyebabkan keresahan kolektif, apalagi belum ada penyelesaian hukum maupun administratif dari instansi yang berwenang. Warga menyampaikan bahwa sejak tahun 2013 telah dibentuk Himpunan Petani Arongo (HPA), yang kemudian dilanjutkan pada 2017 dengan pendirian Serikat Tani Konawe Selatan (STKS), yang diresmikan oleh Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama perwakilan Kantor Staf Presiden.

Namun, seluruh upaya advokasi hingga kini belum membuahkan penyelesaian yang berpihak kepada warga. Pada 19 Mei 2025, telah dilaksanakan pertemuan lintas pihak di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara atas prakarsa DPD RI Komite II, dipimpin oleh Umar Bonte.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan PT. Merbau Jaya Indah, PT. Tiran, PT. CAM, serta sejumlah pejabat dari Kementerian Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Bupati Konawe Selatan, Bupati Konawe, dan Sekda Provinsi Sulawesi Tenggara. Warga juga hadir sebagai pihak terdampak. Namun, pertemuan ini hanya bersifat penjaringan aspirasi dan belum menghasilkan keputusan konkret terkait penyelesaian konflik lahan.

Dalam pertemuan dengan Totok Daryanto, warga meminta agar suara mereka disampaikan kepada Gubernur DIY Sri Sultan HB X dan Bupati Sleman Harda Kiswaya, mengingat mereka masih memandang diri sebagai bagian dari masyarakat DIY. Totok pun dengan segera melaporkan situasi tersebut hingga ke tingkat pusat.

"Ini kalau tidak diselesaikan dengan baik, maka akan berbahaya. Orang nanti jadi takut transmigrasi, padahal ini program penting untuk mengurai persoalan kemiskinan dan mewujudkan swasembada pangan. Saya akan mendampingi ini hingga selesai," tegas Totok yang berasal dari Fraksi PAN. 

Totok Daryanto menegaskan agar pihak perusahaan, dalam hal ini PT. Merbau Jaya Indah, menghentikan pendekatan sepihak dan membuka ruang musyawarah serta sosialisasi kepada warga guna mencapai titik temu bersama dan memberikan kepastian hukum atas lahan garapan. Penyelesaian bisa dilakukan secara damai dan terbuka.

"Saya tindaklanjuti ke Bupati Sleman, pimpinan DPR RI, MPR RI, DPD RI dan Wakil Menteri Transmigrasi yang kebetulan kader PAN. Rencana tindaklanjut dimatangkan dan pemerintah pusat mulai turun tangan. Penyelidikan Jaksa Agung mulai berjalan dan semoga langkah ini membantu masyarakat kita di sana. Kami juga berharap Ngarsa Dalem, Sultan bisa dawuh menyelesaikan persoalan ini," tandas Totok.

Saat ini dikatakan Totok sudah ada 10 hingga 15 KK yang tak tahan dan pulang ke Sleman karena situasi dan kondisi ini. Totok berharap agar nantinya mereka bisa kembali ke daerah transmigrasi dan mendapatkan kesejahteraan di sana dan turut membangun wilayah.

"No viral no justice, maka itu kami ingin agar berita ini tersebar luas diketahui masyarakat. Kita ingin bersama agar kasus ini selesai dan tidak terjadi lagi hal serupa di kemudian hari. Kalau tidak selesai, pasti juga akan saya kejar terus, sampai ke pusat akan saya kejar," lanjutnya.

Totok menegaskan bahwa PT Merbau Jaya melanggar hukum dan melawan negara karena menyerobot tanah transmigrasi yang merupakan program prioritas pemerintah. Kondisi warga di sana menderita sangat dalam, apalagi separuh sudah pulang tidak kuat dengan apa yang dialami. 

"Saya menilai PT Merbau ini melanggar hukum. Mereka menyabotase ingin menghancurkan program transmigrasi yang jadi prioritas nasional. Kami akan bela warga yang masih bertahan di sana. Kondisinya susah, peristiwa terjadi sejak 10 tahun lalu, sudah tak dapat lahan sesuai hak, itupun lalu digusur," tegasnya.

Sementara, Kabag Hukum Pemkab Sleman, Hendra Adi, mengatakan bahwa Bupati Sleman, Harda Kiswaya akan turun langsung ke Konawe Selatan pada 17 Juni nanti. Harda akan mencari solusi bagi warganya dan membantu mengurai persoalan yang terjadi.

"Pak Bupati responsif, koordinasi dan diputuskan 17 Juni Pemkab Sleman dan Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi DIY berangkat ke lokasi. Kami juga bawa bantuan dari Baznas Sleman untuk warga. Kami ingin mendapatkan solusi terbaik untuk warga kita di sana," ungkapnya.

Apa yang terjadi di Konawe Selatan dikatakan Hendra tidak sesuai perjanjian kerjasama yang tertuang dalam PKS antara Pemkab Sleman dan Pemkab Konawe Selatan. Kabupaten Konawe Selatan dikatakannya masih belum melaksanakan beberapa poin dalam nota kerjasama.

"Lahan pernah disampaikan diganti dengan sapi, namun tak diikuti adendum dalam PKS. Ketika diserobot kemudian diganti sejumlah sapi ada yang menerima dan ada yang menolak. Mereka tak ada pendampingan. Apakah terpaksa atau tidak, kita tak tahu. Namun asas keadilan dari perjanjian tak terpenuhi. Ini yang kami akan pastikan nantinya, harus ada keadilan bagi transmigran di sana," pungkasnya. (Fxh)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kampus Berdampak, Memperkuat Kontribusi Kemanusiaan

Jumat, 19 Desember 2025 | 15:57 WIB

Sudarsono KH, Salah Satu Pendiri PSS Tutup Usia

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:15 WIB
X