Dosa Ekologis, Pakar UGM Ungkap Kerusakan Hutan Jadi Akar Banjir Bandang Sumatra

Photo Author
- Senin, 1 Desember 2025 | 13:30 WIB
Bencana banjir yang menerjang pulau Sumatera.
Bencana banjir yang menerjang pulau Sumatera.

Krjogja.com - SLEMAN - Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh pada penghujung November 2025 menyisakan kerusakan besar di tiga provinsi itu. Ratusan desa terendam, infrastruktur terputus, dan lebih dari 300 warga menjadi korban jiwa menurut data BNPB.

Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa bencana ini bukanlah kejadian tunggal, melainkan pola berulang yang semakin sering terjadi dalam dua dekade terakhir. "Cuaca ekstrem hanyalah pemicu, tapi kerusakan hutan di hulu adalah akar masalahnya," ungkapnya dikutip Senin (1/12/2025).

Baca Juga: Kata Irvan Mofu Cetak Tiga Gol Penting untuk PSS, Ingin Ada Saat Dibutuhkan

Menurut Hatma, hujan ekstrem akibat dinamika atmosfer seperti Siklon Tropis Senyar ikut memperparah kondisi akhir November lalu. Namun, ia menekankan bahwa rapuhnya hutan hulu membuat air hujan tak lagi mampu ditahan secara alami.

"Hutan itu ibarat spons raksasa yang menahan air, dan ketika fungsinya hilang, limpasan permukaan meningkat drastis. Berbagai penelitian menunjukkan intersepsi hutan bisa mencapai 15–35% dan infiltrasi 55% dari hujan," sambunya.

Saat hutan rusak atau gundul, siklus hidrologi pun terputus dan air hujan langsung mengalir deras ke hilir. "Di titik itu banjir bandang tinggal menunggu momentum, apalagi kalau terjadi longsor yang membendung sungai," terang Hatma.

Deforestasi di tiga provinsi Pulau Sumatra disebutnya sudah memasuki tahap mengkhawatirkan. Di Aceh, misalnya, lebih dari 700 ribu hektare hutan hilang dalam tiga dekade terakhir meski tutupan hutan masih tersisa cukup luas.

Baca Juga: Gus Yahya Sambut Seruan Islah Para Kiai Sepuh Usai Pertemuan Forum Masyayikh di Ploso

Kondisi serupa bahkan lebih parah terjadi di Sumatra Utara yang kini hanya memiliki 29 persen tutupan hutan. "Ekosistem Batang Toru itu benteng terakhir, tapi tekanannya datang dari konsesi, pembukaan kebun, hingga aktivitas tambang," kata Hatma.

Sumatra Barat juga mencatat laju deforestasi tinggi dengan kehilangan sekitar 740 ribu hektare tutupan pohon sejak 2001. Hatma menyebut hutan-hutan di lereng curam Bukit Barisan kini makin rentan, sehingga memperbesar risiko longsor dan banjir bandang.

Ia menegaskan bahwa bencana 2025 adalah akumulasi dosa ekologis akibat perambahan, alih fungsi hutan, dan lemahnya pengendalian kawasan. LKalau hutan di hulu hilang, ya tidak ada lagi yang menahan air, dan masyarakat hilir yang kena dampaknya," tandas Hatma.

Baca Juga: Festival Teater Indonesia Diadakan 4 Kota

Sebagai langkah mitigasi, Hatma mendorong pemerintah memperkuat konservasi DAS, menghentikan deforestasi, serta mempertahankan hutan-hutan kritis seperti Leuser dan Batang Toru. "Ini harga mati, karena tanpa hutan kita hanya menunggu bencana berikutnya," tegasnya. (Fxh)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kampus Berdampak, Memperkuat Kontribusi Kemanusiaan

Jumat, 19 Desember 2025 | 15:57 WIB

Sudarsono KH, Salah Satu Pendiri PSS Tutup Usia

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:15 WIB
X