YOGYA, KRJOGJA.COM - Esensi emansipasi kembali dipertanyakan menjelang peringatan Hari Kartini yang dirayakan setiap tanggal 21 April. Banyak gerakan perempuan yang muncul, namun di sisi lain esensinya justru menurun.
Sekelompok akademisi di Yogyakarta yang tergabung dalam diskusi mingguan Mahasiswa Magister Administrasi Publik UGM (MAP CORNER Club) menggelar dialog di ruang lobby Gedung Pasca Sarjana MAP dengan tema 'Api Kartini dan Gerakan Perempuan Kontemporer' Selasa (18/4/2017).
“Organisasi perempuan yang berwujud Non Govermental Organisation (NGO) yang sebenarnya memiliki tujuan membela hak-hak perempuan sendiri mengalami demoralisasi gerakan," kata Fullah Jumaynah selaku pembicara dari Komite Perjuangan Perempuan di Yogyakarta.
Dikatakan Fullah, maksud pernyataannya dalam artian, meskipun bersifat independen namun pada kenyataannya NGO tetap bergantung pada elite politik terkait. Belum mampu menyusun strategi yang tepat membentuk gerakan yang progresif.
Menurutnya, pemberdayaan perempuan bertajuk sosialisasi tanpa adanya tindak lanjut mestinya diwaspadai. Tanpa disadari hal tersebut sebenarnya melemahkan gerakan perempuan. Sehingga meskipun NGO yang berdiri semakin menjamur namun esensi dan kepercayaan masyarakat mengalami penurunan.
Berlatarbelakang peneliti etnohistori, Ana Mariana sendiri sebagai pembicara kedua menambahkan bahwa pencitraan Kartini sebagai sosok perempuan yang selalu berkonde, harus patuh dan mengenakan kebaya dijelaskan olehnya tidak benar. Penilaian tersebut datang hanya berdasarkan foto Kartini menjelang menikah.
Padahal dalam kehidupan sehari-hari Kartini seperti perempuan lainnya yang gemar plesiran, tertawa dan melakukan aktivitas lainnya. “Meskipun berbeda zaman, gagasan pendidikan yang dibawa Kartini masih relevan. Seharusnya perayaan Hari Kartini menyentuh pemikirannya baik dalam bentuk lomba atau lainnya. Karena Kartini terkenal dengan tulisannya bukan kebayanya," tambahnya mengkritisi peringatan Hari Kartini di sekolah.
Baca Juga : Pemilihan Kartini Smart se-DIY Digelar