Krjogja.com - SLEMAN - Dosen Fisipol UGM, Mada Sukmajati, menyebut bahwa jurus bantuan sosial (bansos) untuk kampanye bukan praktek pertama pada masa Jokowi ini. Sebelumnya pada 2009, jurus ini juga pakai oleh SBY dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT)
"Strategi sama dipakai sekarang, tak menutup kemungkinan akan dipakai lagi di masa datang. Secara regulasi tidak ada larangan, meski kemudian diskusinya selalu dikembalikan ke etika," ungkap Mada dalam bincang media di Fisipol UGM, Selasa (13/2/2024).
Baca Juga: Prabowo-Gibran Nyoblos Terpisah di 2 Provinsi, Jabar dan Jateng
Mada juga menyebut, di pemilu luar negeri saja, skema jurus bansos juga digunakan oleh para peserta. Memang pihak yang bisa mengakses adalah mereka yang bisa mengakses sumber daya negara.
"Di pemilu luar negeri juga terjadi dan berhasil pembagian bansos jelang pemilu. Solusinya adalah pendidikan politik, bahwa ini dilakukan oleh mereka yang berkepentingan dan bisa mengakses sumber daya negara. Terima saja bansosnya tapi pilihan tak perlu merasa tersandera untuk memilih siapa. Seperti dikatakan bu Menkeu Sri Mulyani, bahwa ini diambil dari anggaran negara sehingga ini tak terkait dengan paslon tertentu," sambungnya.
Baca Juga: Jangan Sampai Keliru, Kenali Perbedaan Warna Kertas Surat Suara Pemilu 2024
Mada menyebut bahwa bansos menjadi jurus lama yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Jurus-jurus divariasikan yang modelnya sama, akan semakin riskan terjadi mendekati hari pemungutan suara.
"Seharusnya kita semua aware, semakin dekat pemungutan suara, bentuk uang cash fresh money akan lebih potensial terjadi. Ini yang dipilih oleh peserta pemilu. Masa krusialnya sebenarnya di hari tenang ini dan besok pemilihan. Sebenarnya ini justru waktu paling sibuk bagi para peserta pemilu. Perlu pengawasan lebih intensif di hari-hari ini," tandasnya.
Saat ini, para peserta pemilu menggunakan data untuk melakukan politik uang, bukan hanya mengetahui nama dan alamat saja, bahkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Segi biaya pun semakin meningkat seiring inflasi uang yang terjadi.
"Tidak mungkin politik uang di perumahan mewah, tapi di kampung-kampung itu jalan. Karakternya justru ditargetkan ke pemilih loyal. Uang pengikat bahasanya. Caleg sangat aware terhadap data, jadi mereka, istilah by name by addres. Sekarang bahkan sama NIK dengan asumsi KTP tak mudah diberikan kepada orang yang tak dipercaya. Biaya politik naik juga, saksi dari sebelumnya Rp 150-200 ribu sekarang Rp 200-250 ribu," lanjut dia.
Baca Juga: Mengenal Konsep Rumah Baru Ganjar Pranowo di Jogja, Viewnya Langsung Sawah
Di sisi lain Mada juga mengingatkan bahwa potensi vote buying harus diantisipasi pula setelah penghitungan suara 14 Februari nanti. Di situ menurut Mada muara penyelenggaraan pemilu yang harus pula diawasi betul.
"Krusial di TPS sampai kecamatan, ini harus kita awasi betul. Jangan sampai jadi ruang gelap yang akhirnya jadi manipulasi kemudian penjualan suara. Kita perlu mengawal bersama," pungkas dia.