Krjogja.com - SLEMAN - Guru besar Fakultas Hukum UGM, Zaenal Arifin Mochtar turut menyoroti situasi paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemungutan suara pemilihan presiden yang akhirnya menolak gugatan tim 01 dan 03. Uceng, sapaan akrab Zaenal meminta masyarakat untuk ikut mendengarkan, termasuk mendorong hak angket DPR.
Kepada wartawan usai konferensi pers hasil MK di Fakultas Hukum UGM, Selasa (23/4/2024), Uceng mengatakan bahwa MK tak bisa bisa independen terhadap kepentingan politik. Keputusan akhir menjadi cerminan hal tersebut, sehingga ia berharap bahwa masyarakat dapat mengambil sikap untuk mendorong hak angket agar ada pihak yang memperjuangkan situasi yang terjadi dalam pemilu lalu.
Putusan MK mengakui banyak persoalan, bahwa presiden tidak dibatasi apa-apa. Mengapa presiden bisa main bansos, uang negara, aparat, karena tak ada yang mengambil alih sama sekali. Presiden itu jelang pemilu harus dipincangkan. Pemilunya sendiri, banyak teguran di KPU dan Bawaslu. Sistem rekapitulasi misalnya upload C1 terlalu lama dari hari H pencoblosan. Bisa banyak diubah-ubah, harusnya lebih cepat," ungkapnya.
Tiga hakim yang menyampaikan desenting opinion menurut Uceng jelas menyampaikan harus ada yang mengintegrasikan kejahatan demokrasi, juga penggunaan aparat ke arah pemilu. Penanggungjawabnya menurut Uceng adalah Presiden Jokowi dalam hal ini.
Terkait dorongan hak angket, Uceng menyebut bahwa saat ini permasalahan ada di DPR. Untuk menjadi angket sebuah partai harus oposisi, diajukan oleh 25 orang anggota dari dua fraksi minimal.
"Tapi jarang partai jadi oposisi karena bakal miskin. Maka saya katakan siapa yang jadi oposisi dalam pemerintahan harus kita pilih, caleg dan kepala daerah dari oposisi saat pilkada harus kita pilih. Karena kalau tidak ya tidak ada yang mau jadi oposisi, pasti belok ketika ditawarkan kursi mentri. kita ingatkan DPR jangan mau nangka tapi tak mau makan getahnya,” sambung dia.
Uceng mengajak masyarakat untuk memberikan insentif politik pada partai yang berada pada garis oposisi. Caranya dengan memberikan hak pilih pada mereka, sebagai pengimbang berjalannya pemerintahan ke depan.
"Di tengah pragmatisme partai politik, itu lemah. Menjadi oposisi di Indonesia itu belas kasihan, miskin, tak dapat banyak hal yang membuat sulit. Harusnya kita dorong beri insentif elektoral yang jadi oposisi. Kita pilih partai yang jadi oposisi, calon yang dari oposisi. PKB kemungkinan juga masuk. Tinggal PDI Perjuangan dan PKS. Itu hanya 20-an persen,” lanjutnya.
Idealnya dalam presidensial, menurut Uceng, penguasa tak boleh memiliki kondisi lebih dari 60 persen. "Paling bagus presidensial itu penguasaannya 50-60 persen tapi dikuasai oversized kan, sekarang ini 82 persen super besar sekali. Kalau sekarang PDI Perjuangan dan PKS paling cuma 24 persen," tandasnya. (Fxh)