KRjogja.com, Sleman – Perhimpunan Emak-Emak Bergerak DIY mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Dalam sebuah konferensi pers yang digelar pada Jumat (27/12), mereka membacakan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, menuntut pembatalan kebijakan tersebut.
Nur Aisyah Haifani, Ketua Perhimpunan Emak-Emak Bergerak DIY, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN berdampak langsung pada emak-emak yang berperan penting dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga. "Kenaikan pajak bisa berpengaruh terhadap kebutuhan sandang, pangan, kebutuhan sekolah, dan kebutuhan kendaraan untuk berbagai mobilitas keluarga. Bersama surat ini, kami emak-emak di Yogyakarta meminta untuk dibatalkan kenaikan PPN 12 persen. Kami juga meminta transparansi laporan pajak oleh pemerintah, agar bisa dibaca oleh seluruh rakyat Indonesia," tegasnya.
Menurut Nur Aisyah, perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya pulih usai pandemi COVID-19 membuat banyak keluarga, terutama emak-emak, masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. "Perlu Pak Prabowo ketahui, sekarang ini kebanyakan emak-emak sudah ikut terjun mencari nafkah untuk membantu suami dan keluarga. Kami harus mengelola keuangan sebaik mungkin supaya pemasukan yang tidak seberapa itu cukup untuk kebutuhan kami," tambahnya dengan cemas.
Iskundarti, seorang aktivis Forum Tanah Air yang hadir dalam konferensi tersebut, juga menyoroti dampak dari kenaikan pajak ini yang menurutnya bisa berdampak luas, termasuk dalam sektor perunggasan. "Potongan pajak tersebut bisa dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Misal pendapatan Rp5 juta, satu persennya saja Rp50 ribu. Rp50 ribu itu untuk rakyat biasa bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Bagi emak-emak, Rp50 ribu itu bisa belanja dua hari," paparnya.
Iskundarti mengingatkan bahwa kenaikan pajak 1% ini akan memiliki efek domino yang lebih besar. Salah satu sektor yang akan terpengaruh adalah perunggasan. "Saat ayam dijual kepada broker, broker-nya juga kena pajak penghasilan. Di dunia perayaman ini ada aturan yang tergantung omzet," katanya, menambahkan bahwa kenaikan pajak ini bisa meningkatkan biaya hidup yang beruntun pada banyak sektor.
Selain itu, ia mewakili pedagang ayam di pasar yang khawatir harga barang-barang akan semakin naik. "Kenaikan pajak 1 persen tidak bisa diremehkan. Contohnya di dunia perayaman ada aturan melibatkan omzet. Banyak objek pajak berganda," tandas Iskundarti.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% memang menuai beragam reaksi. Sebagian pihak berpendapat bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menambah pendapatan negara yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya. Namun, bagi banyak kalangan, terutama emak-emak yang sehari-hari mengelola ekonomi rumah tangga, kebijakan ini dianggap sebagai beban tambahan yang akan semakin menyulitkan hidup mereka.
Kenaikan PPN ini dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025, dan pemerintah pun telah menyiapkan beberapa kebijakan untuk meminimalisir dampak negatifnya terhadap masyarakat. Namun, dengan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, banyak pihak yang meragukan kesiapan masyarakat untuk menerima kebijakan ini.
Dalam surat terbuka yang mereka kirimkan kepada Presiden Prabowo, Perhimpunan Emak-Emak Bergerak DIY juga menekankan pentingnya transparansi dalam laporan pajak yang dikeluarkan pemerintah. Mereka berharap agar rakyat Indonesia bisa memahami bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi kehidupan mereka, serta bagaimana pajak yang dikumpulkan akan digunakan untuk kepentingan publik.
Menanggapi hal ini, beberapa pengamat ekonomi berpendapat bahwa kenaikan pajak memang diperlukan untuk memperbaiki kondisi fiskal negara. Namun, mereka juga menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan cara-cara yang lebih bijaksana agar tidak membebani masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang paling terdampak oleh kebijakan tersebut. (*3)