Namun, konstelasi mulai berubah pada awal tahun 2000-an, ketika konflik perairan China Selatan mengemuka, dan Samudera Hindia muncul ke permukaan, sebagai wilayah ekonomi dan politik yang sangat penting. Maka tidaklah berlebihan, ketika Kaplan menyatakan: bahwa Samudera Hindia, merupakan pusat panggung permainan kekuasaan dari negara-negara adidaya, pada abad ke duapuluh satu (centre-stage for power plays).
"Maka tidak berlebihan kiranya apabila kita memang harus menggali, mengkaji serta merevitalisasi Semangat Nusantara. Mengeja Nusantara, paling tidak harus berangkat dari pengertian terhadap kosakatanya terlebih dulu, yang berakar kata nusa artinya pulau atau kesatuan kepulauan, dan antara yang menunjukkan letak antara dua unsur. Sehingga jika dipadukan, maka makna Nusantara adalah: Kesatuan Kepulauan, yang terletak antara 2 Benua dan 2 Samudera yang tidak lain adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia," lanjut Sultan.
Dengan letak geografis seperti itu, maka penghuni yang berada di dalam Nusantara itu, konsekuensinya harus memiliki Wawasan Nusantara, sekaligus Wawasan Bahari, atau lebih tepatnya Wawasan Nusantara Bahari. Dalam upaya Revitalisasi Semangat Nusantara, maka konsekuensi lanjutannya adalah, bangsa Indonesia harus memiliki pemahaman tentang Geopolitik dan Geostrategis.
Tujuannya adalah untuk menggugah wawasan, dalam usaha mengeksplorasi jatidiri bangsa, diderivasikan dari Wawasan Nusantara, diaktualisasikan dalam konsep Bhinneka Tunggal-Ika, dan ditempatkan dalam konteks percaturan global dan pergeseran geopolitik internasional. Tentu kita harus mahfum, bahwasanya faktor geopolitik, amat ditentukan oleh perkembangan sistem informasi dan teknologi informasi, serta transaksi finansial internasional.
Memang, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk. Masalahnya adalah, bagaimana mengaktualisasikan simbol Bhinneka Tunggal-Ika yang biarpun berbeda, namun tetap satu itu ke dalam konteks yang benar. Bagaimana pula, agar kita bisa mengubah potential forces menjadi actual forces kekuatan nyata yang mampu menjawab tantangan globalisasi.
"Untuk itu, kewajiban nasional untuk memperkuat integrasi bangsa, melalui strategi nasional aktualisasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekalipun satu, tidak boleh dilupakan bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Pengalaman mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal-ika), yang paling potensial untuk bisa melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya keberagaman (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia," tegas Sultan.
Semangat Arkipelagis menjadi upaya membangun Indonesia Baru yang lebih maju, mandiri dan bermartabat, ini tentu memerlukan strategi budaya yang menyiapkan generasi muda Indonesia, yang sanggup mengambil tanggung jawab masa depan, berkeyakinan diri, dan memiliki wawasan kebaharian yang mendalam, serta didukung oleh keterampilan bahari yang memadai.
Dan jika kita berkehendak menggeser orientasi pembangunan menuju skala dunia, maka tidak lain kita harus mulai memperkuat basis pendidikan bidang kelautan.
Sultan mengingatkan bahwa pendidikan Indonesia setidaknya harus berorientasikan pada tatanan Benua Maritim Indonesia. Selain itu, perlu untuk memperkuat fungsi pengawasan, agar kemaritiman menjadi salah satu solusi kunci, dalam berbagai permasalahan global di masa depan.
"Sejatinya, revitalisasi semangat Nusantara itu tidak lain adalah Wawasan Nusantara Bahari, yang tampaknya perlu dibangkitkan kembali, guna mempercepat kebangkitan Indonesia. Jika memang demikian, bukan tidak mungkin, pesan Ir. Seokarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut pada tahun 1953, dapat menjadi kenyataan Oesahakanlah agar kita mendjadi bangsa pelaoet kembali. Ya bangsa pelaoet, dalam arti kata Cakrawati Samoedra," pungkas Sultan.
Sementara Heri Pemad, yang menjadi inisiator acara, menyebutkan bahwa kebudayaan adalah nafas yang menyatukan semua elemen masyarakat. Simposium tersebut dikatakan Pemad ingin memberikan ruang untuk berdiskusi, bagaimana memelihara praktik kehidupan kebudayaan.
"Hari ini kita berdiri di ambang masa baru, ada kementrian kebudayaan, bagaimana dengan jalan ke depan. Inilah pentingnya kita bersuara, mengingatkan dan mengawali. Semoga ruang ini menjadi langkah baru yang lebih indah," tandas Pemad.
Selama periode 2015–2024, Direktorat Jenderal Kebudayaan di bawah kepemimpinan Hilmar Farid telah menjalankan berbagai upaya untuk memperkuat posisi kebudayaan dalam pembangunan nasional. Inisiatif yang diusung meliputi repatriasi benda cagar budaya, pelestarian dan pemanfaatan situs budaya, serta aktivasi Kongres Kebudayaan Indonesia sebagai ruang pertukaran gagasan. Upaya lainnya mencakup pemanfaatan pengetahuan lokal atas keselarasan lingkungan sebagai inti kebudayaan, mendorong kebebasan berekspresi, serta menjadikan inovasi dan kreativitas sebagai landasan pemajuan kebudayaan.
Periode ini juga ditandai dengan hadirnya kerangka kebijakan kebudayaan yang bertujuan mengelola kekayaan budaya secara terintegrasi, dengan mengutamakan peran aktif masyarakat sebagai pemilik dan penggerak kebudayaan, serta memperkuat kehadiran negara sebagai fasilitator yang mewadahi partisipasi dan aspirasi seluruh pemangku kepentingan. Langkah-langkah ini berpuncak pada pembentukan kementerian khusus yang menangani kebudayaan secara terpadu. (Fxh)