KRjogja.com - SLEMAN - Para pakar dunia sebenarnya telah lama memperingatkan runtuhnya model bisnis media. Brant Houston, pakar jurnalisme investigatif, menyebut bahwa kehancuran media komersial dipicu tiga tekanan utama yakni politik, finansial, dan kultural.
Politisasi kepemilikan dan meningkatnya tekanan terhadap jurnalis membuat independensi redaksi rentan. Sementara itu, penurunan pemasukan iklan, kelemahan manajerial, dan keterampilan digital yang kurang memadai membuat banyak media tak siap menghadapi kompetisi digital. Di saat bersamaan, kepercayaan publik yang menurun dan rendahnya literasi berita memperberat beban media. Ekonom media Robert G. Picard yang menyatakan bahwa banyak media arus utama, termasuk di Amerika Serikat, terlambat beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
“Ketika platform digital berlari kencang, media konvensional tertinggal jauh, kata Picard. Adapun Ann Hollifield menekankan bahwa dukungan publik seharusnya bukan untuk mempertahankan semua media, melainkan media yang benar-benar mampu menghasilkan jurnalisme yang kuat dan berintegritas," jelas Prof Dr rer soc Masduki SAg MSi, Guru Besar Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta saat diskusi bersama media di Press Gathering Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Jumat (14/11/2025).
Baca Juga: PSS Siap Hadapi Persiku, Ansyari Lubis Ungkap Kondisi Riko Simanjuntak, Ini Prediksi Line Up
Pergeseran besar dalam lanskap media pun semakin terasa. Disrupsi platform berlangsung masif—peralihan dari portal berita ke streaming dan media sosial, hingga penetrasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligent/AI) yang mengubah cara informasi diproduksi dan disebarkan. Keterhubungan media dengan audiens digital juga semakin longgar, ditandai penurunan konsumsi televisi, radio, dan media cetak.
Meski kepercayaan terhadap media konvensional relatif stabil di angka 40 persen, kata Masduki, publik kini lebih banyak mengandalkan YouTuber, TikToker, podcaster, dan bahkan chatbot AI sebagai sumber informasi pertama. Fenomena ini sangat kuat di kalangan Generasi Z yang tidak hanya mengikuti arus, tetapi memimpin perubahan. Studi kasus Gerakan September 2025 menunjukkan bagaimana generasi muda mampu mendorong perubahan sosial melalui narasi digital yang viral dan terorganisasi.
Di tengah arus perubahan itu, Masduki mengingatkan bahwa media tidak akan mampu bertahan tanpa pondasi ekonomi yang sehat. Ini bukan kali pertama ia mengangkat isu tersebut. Dalam berbagai konferensi, diskusi publik, hingga forum akademik, Masduki selalu menekankan pentingnya Dana Abadi Jurnalisme sebagai solusi jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan jurnalisme yang independen.
“Prinsip dasarnya adalah independensi. Ada firewall yang jelas antara pemberi dan penerima dana agar tidak terjadi intervensi terhadap ruang redaksi,” tegasnya. Menurut Masduki, dana abadi ini harus diarahkan pada hibah liputan, inovasi model bisnis, perlindungan hukum, serta peningkatan kapasitas dan keamanan digital jurnalis. “Jangan hanya menjadi subsidi model lama yang sudah usang,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu gagasan ini mendapat respons positif dari berbagai pihak. Dewan Pers bahkan telah membentuk Gugus Tugas Dana Jurnalisme untuk merumuskan langkah teknis pembentukan lembaga pendanaan independen tersebut. Dukungan juga datang dari organisasi media seperti AMSI, AJI, serta lembaga internasional seperti International Fund for Public Interest Media (IFPIM).
“Jika jurnalisme kuat, demokrasi akan kuat. Kalau tidak, ruang publik akan dikuasai informasi yang tidak terverifikasi dan penuh disinformasi,” pungkas Masduki.(*)