"Pelatihan yang berkelanjutan, komunitas belajar yang hidup, serta dukungan institusi yang nyata akan membuat guru tidak berjalan sendirian. Teknologi perlu diperlakukan sebagai sahabat, bukan beban; alat bantu, bukan pusat dari segalanya," tandasnya.
Menurutnya, dunia pendidikan di era digital menghadapi tantangan yang jauh lebih besar daripada sekadar koneksi internet dan ketersediaan perangkat. Tantangan terbesar kita adalah memastikan bahwa digitalisasi tidak menghilangkan jati diri pendidikan itu sendiri.
"Kita sedang memasuki masa ketika informasi begitu berlimpah, tetapi kebijaksanaan semakin langka. Ketika teknologi dapat mempercepat pembelajaran, tetapi sekaligus memperlebar jurang mereka yang memiliki dan yang tidak memiliki akses. Ketika kecerdasan buatan mampu membantu, tetapi tidak pernah bisa menggantikan sentuhan kemanusiaan dalam mendidik," papar Ayu.
Karena itu, menurut dia, solusinya harus bersifat menyeluruh. Kita perlu menguatkan literasi digital, bukan hanya kemampuan menggunakan perangkat, tetapi juga kemampuan memilah makna, menjaga etika, dan membangun karakter.
Baca Juga: PDM Bantul Luncurkan LANGKAHMU untuk Membumikan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat
"Kita harus memastikan pemerataan akses, agar tidak ada satu pun anak bangsa yang tertinggal hanya karena wilayah dan keadaan. Dan kita perlu merumuskan kurikulum yang tidak hanya menyiapkan siswa menghadapi dunia digital, tetapi juga menjadi manusia yang utuh di dalamnya," tuturnya.
Ia menegaskan, teknologi akan berubah, tetapi misi pendidikan tetap sama: membentuk manusia yang beradab, berilmu, dan berakhlak. Di era digital sekalipun, nilai kebijaksanaan dan kemanusiaan itulah yang harus tetap dijaga sebagai nafas dari seluruh proses pendidikan.
"Akhlak dan kebijaksanaan menjadi fondasi penting dalam proses pendidikan di era sekarang dan terus menjadi mercusuar dalam proses pendidikan di UNU Jogja," pungkasnya. (Fxh)