Krjogja.com - YOGYA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai penundaan atau relaksasi larangan ekspor konsentrat, bahan baku timah, perak dan emas terhadap perusahaan tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) menimbulkan diskriminasi.
Freeport Indonesia berhasil mengantongi izin relaksasi ekspor konsentrat kembali dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Padahal, izin ekspor konsenterat itu mestinya berakhir pada Juni 2023, namun diperpanjang sampai Mei 2024.
"Pemberian relaksasi ekspor konsenterat itu menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang selama ini sudah diwajibkan hilirisasi di smelter dalam negeri. Dampaknya, mereka akan menuntut relaksasi ekspor bahan mentah serupa," kata Fahmy dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/7/2023).
Fahmy mengungkapkan apabila pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, maka nasib program hilirisasi akan semakin porak-poranda. Sebenarnya, nasib hilirisasi yang suram telah dimulai ketika ditemukan ekspor illegal bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton ke China sejak 2020.
"Selain itu, pemberian relaksasi ekspor konsenterat dan ekspor illegal bijih nikel akan memicu ketidakpastian yang menyebabkan investor smelter hengkang dari negeri ini," imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berani dan bernyali memberlakukan kebijakan larangan ekspor biji nikel sejak Januari 2020. Presiden Jokowi bahkan bergeming saat kebijakan tersebut diadukan ke World Trade Organization (WTO).
"Kendati kalah di Forum WTO, Jokowi justru semakin berani dan bernyali melanjutkan pelarangan ekspor seluruh hasil tambang dan mineral, tanpa hilirisasi di smelter dalam negeri.Namun sayang nyali Jokowi itu berhasil dipatahkan Freeport McMoran yang memaksa pemerintah mengeluarkan relaksasi larangan ekspor konsentrat, bahan baku timah, perak, dan emas," terang Fahmy.
Lebih jauh, Fahmy menyampaikan tujuan hilirisasi adalah untuk menaikkan nilai tambah dan pembangun ekosistem industri terkait. Pasca pelarangan ekspor bahan mentah, kata dia, Indonesia berhasil meningkatkan nilai ekspor produk turunan nikel hingga 19 kali lipat.
"Yang semula hanya Rp 17 triliun atau US$ 1,1 miliar pada 2017, meningkat menjadi Rp 326 triliun atau US$ 20,9 miliar pada 2022," ujarnya.
Dengan demikian program hilirisasi terbukti menaikkan nilai tambah yang berlipat-lipat. Hal yang sama terjadi dengan produk turunan Bauksit yang telah meningkatkan pendapatan negara, yakni dari Rp 21 triliun pada 2017 menjadi sekitar Rp 62 triliun pada akhir 2022. (Ira)