YOGYA, KRJOGJA.com - Selama ini, Yogyakarta terkenal sebagai surganya mahasiswa. Tidak hanya karena banyaknya perguruan tinggi, tapi juga karena biaya hidup di kota ini yang konon amat manusiawi.
Dibandingkan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, hidup di Yogyakarta itu hemat sekali. Pantas, setiap tahun ada ratusan ribu mahasiswa yang merantau ke Yogyakarta.
"Tetap saja masing-masing mempunyai pemasukan dan gaya hidup yang berbeda sehingga pengeluaran per bulannya pun tidak sama," kata Cecep Maulana Muhamad, mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan (EP), Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kepada KRJOGJA.com, Minggu (21/03/2021). Cecep Maulana, pemenang I Lomba Penulisan Opini di Media Massa diadakan Komunitas Muda Kreatif (KMK) EP-FEB-UAD.
Dari pengamatan yang dilakukan Cecep Maulana bersama Dandy Ramdlan Yahya, teman sekampus menemukan data-data menarik. Merujuk hasil kajian Bank Indonesia (BI), gaya hidup atau life style menjadi poin pengeluaran terbesar mahasiswa di Yogyakarta. Hasil kajian Bank Indonesia menyebut, rata-rata pengeluaran mahasiswa di DIY saat ini jauh lebih tinggi dari besaran Upah Minimum Provinsi (UMP).
"Pengeluaran biaya hidup mahasiswa di Yogyakarta melonjak hampir dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir," ungkap Cecep Maulana, mahasiswa asal Cilacap.
Pada tahun 2020 sebelum adanya pandemi, rata-rata biaya hidup mencapai Rp 1,5 juta perbulan. Hal tersebut masih sangat biasa saja dibandingkan dengan setelah pandemi yang mengalami kenaikan rata-rata biaya hidup yang mencapai 2,5 juta perbulan. Dikatakan, pengeluaran mahasiswa tersebut bahkan lebih tinggi dibanding Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY tahun 2020 sebesar Rp 1,7 juta. Hal tersebut terjadi adanya metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang memaksa mahasiswa untuk menggunakan fasilitas pribadi membuat biaya hidup semakin meningkat.
Selain itu, sektor pariwisata, sektor pendidikan juga memiliki kontribusi besar pendorong pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta. Â Merujuk data Bank Indonesia, pada tahun 2020, pengeluaran biaya hidup dan biaya pendidikan mahasiswa mencapai Rp 17,2 triliun per tahun atau setara dengan 12,2 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY. Sementara pada 2016 kontribusi pengeluaran biaya mahasiswa sebesar 10,4 persen dari PDRB DIY. Sedangkan konsumsi mahasiswa di DIY mulai merambah ke kebutuhan sekunder dan tersier. Pada saat pandemi ini, komponen makan dan minum masih menjadi kebutuhan utama dengan porsi 30,2 persen dari pengeluaran mahasiswa.
Selanjutnya, terdapat tambahan pengeluaran yang bisa dikatakan wajib dan masuk ke kategori primer yaitu kuota internet. Kemudian merambah untuk gaya hidup atau lifestyle yang mencapai 24,6 persen dari pengeluaran mahasiswa dan sewa kos dengan porsi 20,1 persen. Mereka yang berasal dari luar Yogya memilih tinggal di kos ketika pandemic karena memang sedang ada kegiatan mendesak, hal itu sama halnya yang di rasakan Mas Dandy saat ini. Yogyakarta punya banyak kampus, tempat kos yang disewakan pun banyak. Ada yang khusus cewek atau cowok saja.
Dari pengamatan, ada juga yang campuran. Biasanya harga ditentukan dari luasnya kamar, tersedianya perabotan, letak kamar mandi dan sebagainya, yang berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 600 ribu per bulan. Biaya makan dan minum mahasiswa beragam, tergantung frekuensi makan, pilihan makanan, dan pilihan tempat makannya. Biasanya, kebanyakan mahasiswa hanya makan dua kali sehari. "Dari data yang diperoleh, biaya terendah adalah Rp 300 ribu per bulan," ucapnya.
Ada berbagai transportasi yang bisa digunakan mahasiswa di Yogyakarta. Kebanyakan mahasiswa naik motor pribadi. "Ada juga yang naik transportasi umum supaya lebih hemat. Cecep menemui responden, salah satunya, bernama Syahdan mahasiswa dari Purbalingga.
Dikatakan, karena sibuknya, banyak anak kos yang tidak bisa rutin mencuci baju sendiri. Karena itulah mereka memanfaatkan jasa laundry. Mahasiswa zaman sekarang butuh sekali koneksi internet. Terlebih dalam masa pandemi Covid-19. Saat ini kuota internet harus melimpah. Meski dapat bantuan dari pemerintah, tetapi itu tidak seberapa dan masih dibagi bagi kuotanya, ada yang khusus internet dan juga ada yang khusus untuk mengakses misalnya zoom dll. Rata-rata mahasiswa mengandalkan HP dan laptop buat internetan.
Saat ini benar-benar full menggunakan fasilitas pribadi, ketika prapandemi yang biasanya memanfaatkan layanan wifi gratis dari kampus, namun saat ini keadannya berbalik yang harus menyediakan, mencari jaringan yang baik terlebih ketika sedang menjalankan kuliah daring. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan jaringan ketika kuliah daring sedang berlangsung. Hal tersebut tentunya menjadi masalah utama yang saat ini mahasiswa alami. Keuntungan bagi mahasiswa yang berada di lingkup jaringan yang bagus dan mengandalkan fasilitas wifi kos, tetapi keadaan berbalik dengan mahasiswa yang harus rela pulang kampung dan terkendala sinyal.