Memilih Sekolah yang Baik

Photo Author
- Selasa, 2 Mei 2017 | 12:53 WIB

‘Sebuah sekolah dianggap baik, bukan karena yang diceritakan mengenainya, melainkan karena yang diamalkan oleh para muridnya.’

SEKALIMAT pesan Hans Kolvenbach SJ yang disampaikan kepada peserta lokarya international mengenai pedagogi reflektif pada 1993 tersebut kiranya aktual jika dihadirkan kepada para orangtua menjelang mencarikan sekolah lanjutan bagi anaknya. Tidak berlebihan juga jika pesan tersebut untuk membaca situasi persekolahan dan perilaku para murid yang terberitakan di media akhirakhir ini.

Catatan perilaku mutakhir murid-murid mengenai kekerasan dan vandalisme, mencuri, curang, tidak menghormati figur otoritas, kekejaman teman sebaya, kefanatikan, bahasa yang kasar, pelecehan dan perilaku merusak diri. Bahkan, perilaku brutal di jalanan, kematian demi kematian, baik di lingkungan sekolah maupun di arena luaran, serta-merta memunculkan respons : hati-hati menyekolahkan di sana atau di situ. Jika demikian, bagaimana para orangtua memilih sekolah yang baik? Penting mencoba mengurai pesan Hans Kolvenbach, bagaimana membedakan antara yang diceritakan mengenai sekolah tersebut dan yang dilakukan muridnya?

Yang diceritakan

Lazimnya yang diceritakan tentang sekolah adalah masa lalu secara turun-temurun, bahkan tidak jarang terjerumus pada mitos mengenai sekolah tersebut. Ada sekolah yang dikenal sebagai kumpulan anak-anak golongan berpunya, kumpulan murid pintar, para muridnya mempunyai selera pemberani alias suka tawuran, atau muridnya yang aneh pun liar. Label-label yang dianggap baik tentu akan dipertahankan, sementara kesan buruk ingin dihapuskan oleh banyak pihak. Bangga mengenai masa lalu, sebuah sekolah tak lain hanyalah menjual mitos, apalagi hal-hal yang diceritakan itu sudah jauh situasinya dan kenyataan.

Sebuah riset menyebut iklan mengenai sekolah, entah lewat berbagai media atau publikasi di sudut-sudut kota, ternyata tidak lebih ampuh daripada iklan gethok tular kisah dari mulut ke mulut mereka yang pernah belajar di sana. Jejaring lulusannya lebih kuat mengundang para orangtua atau calon murid untuk datang. Nah, kekecewaan akan berbuntut panjang ketika situasi kini berbeda dengan yang diceritakan. Kisah masa lalu begitu saja dibayangkan terjadi di zaman kini. ‘Lho, guru-gurunya dulu hebat’, sambil mengabaikan bahwa guru silih berganti, sementara standar mutu guru tidak terjaga. Dulu persaudaraannya erat, sementara murid di zaman kini hidup bergelimang duit dan teknologi.

Yang Dilakukan Murid

Perilaku murid acapkali mengimbas pada nama baik sekolah, terutama capaian-capaian prestasinya. Sekolah yang mempunyai sejarah panjang sebagai sekolah jagoan berkelahi, ternyata mampu membangun citra positif berkat muridmuridnya yang memenangi berbagai lomba yang bersifat ilmiah. Sekolah tersebut tidak mudah menghapus cerita masa lalu yang kurang baik. Tetapi sistem dan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada murid silih berganti mengikuti lomba-lomba ternyata berdampak positif. Yang dilakukan murid sama dengan berbagai kemenangan yang dihasilkan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X