Krjogja.com, YOGYA - Sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tentang dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menjadi sorotan publik. Pakar Hukum Tata Negara Dr Tugiman SH MSi memberi penjelasan.
Menurut Dr Tugiman, dalam perspektif yuridis normatif, ada dua hal berbeda ketika putusan MK dihadapkan pada sidang kode etik MKMK. Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2003 juncto UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa putusan MK itu bersifat final n binding.
"Final artinya putusan MK itu putusan terakhir yang tidak ruang terbuka untuk melakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Sedangkan binding artinya putusan itu mengikat dan harus ditaati oleh siapapun," terang Calon Anggota DPD RI dapil DIY ini, Selasa (7/11/2023).
Baca Juga: Anwar Usman Dipecat dari Ketua MK
Terkait sidang kode etik MKMK, menurut Tugiman, hanya bersidang, berbicara dan memproses masalah dugaan pelanggaran kode etik saja. Oleh karena itu, sesuai kewenangannya MKMK tentu tidak menyentuh pokok persoalan keputusan MK (putusan MK Nomor 90 terkait syarat capres-cawapres).
Keputusan MKMK dalam sidang kode etik ada 3 kemungkinan, pertama memberikan hukuman teguran, bisa tertulis atau lisan. Kemungkinan kedua peringatan dan kemungkinan ketiga yang terberat adalah pemberhentian hakim MK yang terbukti melanggar kode etik. "Dalam konteks ini kalau kemudian putusan MK tadi dihadapkan pada persoalan sidang kode etik MKMK, ini substansinya tentu berbeda," ujar Doktor Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran sekaligus Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan ini.
Baca Juga: Mahasiswa UGM Teliti Pengaruh Weton Terhadap Capaian Akademik, Apa yang Ditemukan?
Tugiman menegaskan bahwa putusan MK tentu tidak bisa diubah dengan putusan MKMK yang substansinya kode etik. Sementara keputusan MK adalah menguji norma sebuah UU terhadap UUD 1945. "Dengan demikian tentu putusan MKMK tidak ada korelasinya dengan putusan MK," pungkasnya. (Dev)