KRJogja.com, YOGYA- Pengurus Wilayah Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia Nahdlatul Ulama (PW Lesbumi NU) DIY mengadakan diskusi publik dalam menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia di kampus Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Sabtu (3/8/2024).
Jika biasanya diselenggarakan dengan gegap gempita heroisme pahlawan di masa lalu, Lesbumi DIY melihat dari sisi yang lain untuk diangkat sebagai tema, yaitu 'Situasi Seni dan Seniman Pada Masa Kemerdekaan'.
Diskusi ini mendapatkan apresiasi dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari DIY Dr H Hilmy Muhammad MA. Menurutnya, diskusi ini menarik karena diselenggarakan sebagai upaya kita mengingat dan mengenang jasa para pahlawan, para pendahulu dari kacamata seni.
Baca Juga: Deretan Kota Termahal di Dunia untuk Ditinggali, Dominan dari Amerika Serikat
Pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut mengajak peserta diskusi untuk mencermati peristiwa Proklamasi RI, di mana saat Presiden Soekarno membaca naskah proklamasi, terdapat lukisan di belakangnya.
"Itu lukisan “Memanah” karya Henk Ngantung barangkali menjadi inspirasi kita dalam perjuangan kemerdekaan. Barangkali karena mewakili semangat perjuangan dan perlawanan “bambu runcing” yang ingin digelorakan melalui kanvas pelukisnya, di samping karena kemampuan kita waktu itu belum mampu membeli senjata api," kata anggota Komite I DPD RI tersebut.
Melihat sejarahnya, menurut Gus Hilmy, perkembangan seni di Indonesia memiliki hubungan dengan dinamika politik. Namun kemudian politik membuat kelompok-kelompok seniman saling berseberangan.
Baca Juga: Begini Cara Mengajarkan Anak Menabung Secara Konsisten
“Yang menarik, meskipun para seniman berpolemik, tetap dapat memberikan inspirasi dan penyadaran melalui karya-karya. Di sinilah sebenarnya kita juga berharap dari para seniman. Kemerdekaan kita dari penjajah barangkali sudah cukup lama, 79 tahun lamanya. Akan tetapi pasti kita semua tahu, masih banyak penjajahan di sekitar kita. Kita belum sepenuhnya merdeka dari persoalan-persoalan kebangsaan kita, yang itu perlu para seniman campur tangan melalui karya-karyanya demi menyadarkan masyarakat luas,” tutur pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut.
Anggota MUI Pusat tersebut memberikan contoh bagaimana negara sudah tidak memiliki garis besar haluan negara (GBHN) sehingga arah negara tergantung pada yang berkuasa. Baik legislatif maupun eksekutif, semuanya adalah representasi partai politik, yang pengkaderannya seringkali tidak jelas. Di sinilah seniman diharapkan menjadi penyeimbang melalui gerakannya.
Hadir dalam kesempatan tersebut Dekan Fakultas Dirasah Islamiyah Achmad Munjid MA, Ph.D., Ketua PW Lesbumi NU DIY Awaluddin G Muallif, narasumber seniman Nasirun, arsiparis Muhidin M Dahlan dan sejarawan seni Aminuddin TH Siregar.
Baca Juga: Kasus Korupsi di Pemkot Semarang, Ada Dugaan Pemotongan Jatah Upah Pegawai
Aminuddin menyatakan bahwa ketika masa penjajahan, seni digunakan untuk mempropaganda rakyat terjajah untuk bekerja keras agar tidak menyadari bahwa dirinya sedang dijajah.
“Penciptaan estetik pada masa Jepang kerap kali dimanipulasi dengan propaganda. Seni yang memvisualisasikan kerja keras menjadi satu unsur propaganda yang disenangi Jepang. Mendorong agak rakyat Indonesia bekerja keras sehingga mengalihkan penjajahan,” ucap pria yang akrab disapa Ucok tersebut.
Sebeliknya, ketika masa awal kemerdekaan, jelas Ucok, seni digunakan sebagai propaganda kemerdekaan sekaligus sebagai media diplomasi yang menggambarkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan kebudayaan.