Krjogja.com - YOGYA - Ketua Umum Presidium Koalisi Ojol Nasional, Andi Kristiyanto, menegaskan penolakan terhadap dukungan Indonesia atas penerbitan Konvensi ILO (International Labour Organization) terkait pekerja platform digital. Pernyataan itu disampaikannya menanggapi pernyataan Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker RI, Indah Anggoro Putri, yang mewakili Menteri Ketenagakerjaan Prof. Yassierli dalam pertemuan internasional ILO.
Sebagai informasi, Indonesia menyatakan mendukung penerbitan konvensi ILO tersebut yang mengatur perlindungan terhadap pekerja platform digital, termasuk pengemudi ojek online. Menanggapi hal itu, Andi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat.
Baca Juga: Anggota Komite DPD RI ke Bantul, Meningkatkan Pelayanan Publik Secara Optimal
Ia menyebut keterlibatan ILO dalam isu ojek online di Indonesia sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara. "ILO nggak ada urusannya dengan nasib ojol di Indonesia, karena ojol di Indonesia bukan pekerja, dan bukan buruh, jadi kami tolak intervensi ILO terhadap ojol di Indonesia," ungkap Andi Kristiyanto Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional, Rabu (11/6/2025).
Andi menilai adanya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan komunitas ojol untuk memperjuangkan status pekerja hanyalah upaya yang ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Ia meminta pemerintah dan DPR tidak terpancing oleh narasi tersebut.
"Sudah berulangkali kami menyatakan kepada pemerintah maupun Kemenhub, ke masyarakat dan ke DPR bahwa Ojol bukan pekerja, bukan buruh dan bukan pekerja mandiri, tapi mereka memaksakan diri agar status ojol sebagai pekerja, sampai ngemis ke ILO, ini ada apa dengan mereka itu, Indonesia negara berdaulat tidak boleh tunduk kepentingan lembaga internasional," tegasnya.
Baca Juga: Ranting Kotagede, Kota Yogyakarta Berhasil menggelar Parapatan Ranting 2025 secara sukses
Pernyataan senada juga disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, H. Obon Tabroni. Anggota DPR dapil Kabupaten Bekasi & Kota Bekasi ini menyebut bahwa ojol bukanlah pekerja ataupun buruh, melainkan mitra.
"Tadinya saya bingung, karena ada aspirasi yang menyatakan ojol sebagai pekerja, tapi setelah mendapatkan masukan dari rekan-rekan Koalisi Ojol Nasional, saya baru sadar bahwa benar ojol bukan pekerja dan bukan buruh, mereka adalah mitra," tambah Obon Tabroni.
Obon menyebut dirinya merupakan salah satu anggota tim perumus revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia mengaku saat ini masih menyerap aspirasi dari komunitas ojol yang ternyata memiliki pandangan berbeda dengan organisasi buruh.
Sejalan dengan pernyataan Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, bahwa jika kebijakan ini dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia maka mengakibatkan reklasifikasi mitra yang sama dengan hilangnya pekerjaan. Pemaksaan kebijakan ketenagakerjaan (seperti reklasifikasi mitra menjadi karyawan platform atau memaksakan pemberian manfaat setara karyawan) pada sektor mobilitas dan pengantaran digital dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap ekonomi Indonesia, termasuk menurunnya pendapatan jutaan UMKM yang bergantung pada platform digital serta meningkatnya pengangguran.
"Kebijakan ini akan menghilangkan kemampuan platform digital sebagai bantalan ekonomi nasional. Efek domino dari kebijakan ini termasuk memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional, menimbulkan gejolak sosial politik, dan turunnya kepercayaan investor baik dalam maupun luar negeri, terutama di masa perekonomian dunia yang menantang saat ini," tegas Agung Yudha. (Fxh)