Krjogja.com - YOGYA - Ratusan warga Kampung Pengok bersama berbagai unsur masyarakat berkumpul dalam Aksi 1000 Lilin dan Doa Bersama bertajuk “Putihkan Kampung Pengok.”
Kegiatan ini diadakan pada 29 Juni 2025 di Pertigaan Jalan Munggur & Jalan Kusbini, Blok C, Gondokusuman, sebagai wujud solidaritas, kepedulian, dan pengharapan atas masa depan ruang hidup yang hingga kini belum memiliki kepastian hukum.
Baca Juga: 3T Kampung Laut Cilacap Banyak Ditemukan Uang Lusuh
Acara dimulai pukul 19.45 WIB dalam suasana hening, khidmat, dan penuh doa. Warga mengenakan pakaian putih sebagai simbol ketulusan, serta menyalakan lilin sebagai tanda harapan yang tak pernah padam.
"Sejak lama, jauh sebelum generasi kami, para orang tua kami sudah berusaha sekuat tenaga agar kampung ini memperoleh legalitas. Bahkan, sejak sekitar tahun 2012, berbagai upaya sudah dilakukan supaya ada kepastian hak tinggal bagi warga di sini—mulai dari pengajuan dokumen awal hingga permohonan pengakuan resmi. Namun sampai hari ini, belum ada satu pun pengurusan yang berhasil sepenuhnya", ungkap Resa, perwakilan Pemuda Kampung Pengok.
Resa menjelaskan bahwa tahapan legalitas ini tidak sederhana dan harus ditempuh secara berurutan:
Baca Juga: Tak Hanya Rotasi Jabatan, Bupati Harda Kiswaya Dukung ASN Sleman Kejar Studi
“Pertama, kami mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT), yaitu dokumen yang hanya menerangkan lokasi, batas tanah, dan siapa yang menempati. SKT menjadi syarat administratif awal. Kedua, tahap Palilah, yaitu izin pemakaian tanah dari pihak Kasultanan Yogyakarta. Palilah menjadi tanda bahwa pemohon diakui memiliki hak tinggal sah atas tanah tersebut. Namun hingga hari ini, Palilah itu belum kami peroleh", jelas Resa.
"Ketiga, bila Palilah berhasil didapatkan, proses akan dilanjutkan dengan pengajuan Kekancingan, yaitu pengakuan hak magersari yang lebih kuat dan turun-temurun. Kekancingan ini menjadi dasar status hukum paling aman bagi warga yang sudah puluhan tahun tinggal," lanjutnya.
Lebih jauh, Resa menekankan bahwa ketidakpastian yang berlangsung lama membuat banyak keluarga hidup dalam kecemasan yang tak sederhana.
“Kami ini generasi muda yang lahir dan besar di Kampung Pengok. Kami juga punya hati, punya rasa. Setiap malam, di sudut-sudut gang kampung, kami masih sering mendengar perdebatan, kebingungan, bahkan tangisan—karena para orang tua kami resah memikirkan masa depan rumah yang sudah mereka rawat bertahun-tahun", jelasnya.
"Kita semua paham, kalau seseorang punya kemampuan ekonomi lebih, mungkin bisa memilih membeli rumah bersertifikat di pinggiran kota. Namun realitas di sini berbeda. Mayoritas warga di Kampung Pengok untuk makan sehari-hari saja sudah berat. Seringkali untuk sekadar menyiapkan kebutuhan dapur, para orang tua kami harus berhutang atau bekerja harian. Dalam kondisi seperti ini, bicara tentang membeli rumah baru hanyalah angan-angan," lanjutnya.
Resa menyampaikan bahwa para pemuda Kampung Pengok merasa terpanggil untuk mendampingi dan memberi kekuatan, meski secara materi juga serba terbatas:
“Sebagai insan pemuda, kami turut prihatin. Kami tergerus hati, kami menangis. Kami ingin membantu lebih banyak, tetapi kalau bicara soal uang, kalau kita iuran untuk membantu tiap rumah yang kelaparan, itupun pas-pas an. Karena itulah, yang bisa kami lakukan hari ini adalah berkumpul, menyalakan lilin, berdoa bersama, dan menunjukkan kepada orang tua kami bahwa mereka tidak sendiri," sampainya.