Krjogja.com - YOGYA – Dalam lanskap pembangunan berkelanjutan, sampah bukan sekadar sisa. Ia adalah cermin dari sistem yang berjalan – atau tak berjalan.
Pada episode kelima Podcast Sapa Infrastruktur, diskusi bergulir hangat seputar tema yang krusial namun kerap terlupakan: “Strategi Implementasi Pengelolaan Sampah Pasca Desentralisasi ke Kabupaten/Kota di DIY.”
Bertempat di Pusat Desain Industri Nasional, acara tapping berdurasi 60 menit ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas sektor yang tak hanya memahami regulasi, tapi juga realitas di lapangan.
Dipandu oleh Artika Amelia, episode ini mempertemukan pemangku kebijakan, pelaksana teknis daerah, akademisi, dan wakil rakyat: Drs. H. Suwardi selaku Anggota Komisi C DPRD DIY, Perwakilan Biro PIWP2 Setda DIY, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman dan Dr. Ir. Hijrah Purnama Putra, S.T., M.Eng. selaku Akademisi Teknik Lingkungan UII.
Mereka tidak datang membawa teori kosong. Mereka hadir membawa strategi, langkah konkret, dan pandangan tajam tentang bagaimana pengelolaan sampah di DIY pasca-desentralisasi harus dikawal bersama.
Sejak keluarnya Surat Gubernur DIY Nomor 658/11898 (11 Oktober 2023), tanggung jawab pengelolaan sampah resmi didesentralisasikan ke pemerintah kabupaten/kota. Langkah ini bukan tanpa alasan: semakin kompleksnya tantangan lingkungan, volume timbulan sampah, hingga perlunya respons yang cepat dan kontekstual di setiap daerah.
Biro PIWP2 Setda DIY dalam podcast ini menjelaskan bahwa desentralisasi ini bertumpu pada asas kedekatan pelayanan dan optimalisasi sumber daya lokal. Namun, mereka juga menekankan perlunya pendampingan kebijakan, koordinasi lintas sektor, dan dukungan pendanaan sebagai penguat eksekusi di lapangan.
DLH Sleman menjadi salah satu contoh kabupaten yang tanggap dan strategis dalam merespons kebijakan ini. Dalam podcast, diungkap bagaimana dua TPST — Tamanmartani dan Minggir — mampu dibangun dalam waktu relatif singkat.
Kuncinya? Kolaborasi aktif dengan masyarakat, desain pengelolaan berbasis sirkular, dan pendekatan teknologi tepat guna.
Kedua TPST itu tak sekadar mengurangi beban TPA. Mereka menghasilkan produk bernilai ekonomi — dari kompos, pupuk organik cair, hingga barang daur ulang — dan menyerap tenaga kerja lokal.
Sleman memberi sinyal: jika ada kemauan dan kemitraan, sistem pengelolaan sampah bisa bertransformasi menjadi peluang ekonomi hijau.
Dr. Hijrah Purnama Putra mengajak melihat lebih dalam: pengelolaan sampah bukan hanya soal kebersihan, tetapi juga determinasi kesehatan masyarakat. Sampah yang tak terkelola bisa mencemari air, menurunkan kualitas sanitasi, dan pada akhirnya meningkatkan risiko stunting — terutama di daerah dengan akses air bersih terbatas.
Dari sisi akademik, beliau menyoroti dominasi sampah organik dan plastik dalam komposisi sampah DIY. Ia juga menekankan pentingnya riset dan teknologi lokal dalam menghadirkan solusi aplikatif di tingkat komunitas, bukan sekadar proyek pilot yang berhenti setelah launching.
Dari sisi legislatif, Drs. Suwardi menegaskan bahwa DPRD siap mendukung kebijakan desentralisasi ini — asalkan diikuti dengan pengawasan anggaran yang ketat dan indikator keberhasilan yang jelas.