Kata Penyusun Buku Indonesia Menjejak Everest tentang Cerita Clara Sumarwati Taklukkan Puncak Gunung Tertinggi Dunia

Photo Author
- Jumat, 3 Oktober 2025 | 20:25 WIB
Rita Heru, kakak Clara Sumarwati menunjukkan buku cerita perjalanan sang adik ke Everest (Harminanto)
Rita Heru, kakak Clara Sumarwati menunjukkan buku cerita perjalanan sang adik ke Everest (Harminanto)



Krjogja.com - YOGYA - Dra Clara Sumarwati (60) tutup usia, Kamis (2/10/2025) dan dimakamkan di Kota Yogyakarta, Jumat (3/10/2025). Ia meninggalkan catatan luar biasa karena menjadi perempuan Asia Tenggara pertama yang sampai di puncak Mount Everest, gunung tertinggi di dunia pada tahun 1996 silam.

Clara hidup dengan tekanan psikologis yang sangat besar selama ini. Penyebabnya, capaiannya ke puncak Everest dianggap sebagai bualan orang-orang hingga akhirnya membuatnya drop secara mental, dan harus terus berobat jiwa hingga masa akhir hidupnya.

Baca Juga: Fraud Jadi Ancaman Serius bagi Dunia Usaha dan Stabilitas Ekonomi

Kisah pendakian Clara di gunung tertinggi di dunia didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul ‘Indonesia Menjejak Everest’ karya Furqon Ulya Himawan 2019 lalu. Ulya yang akrab disapa Yaya adalah seorang kontributor media BBC di Yogyakarta dan selama satu tahun melakukan penelitian baik pada Clara maupun menggali sumber data yang bisa ditemukan dari berbagai belahan dunia tentang pendakian Clara ke atap dunia itu.

"Clara ini dua kali melakukan pendakian ke Everest yakni pada 1994 dan 1996. Clara waktu itu latar belakangnya merupakan anggota mahasiswa pecinta alam (mapala) dan resimen mahasiswa (menwa) Atma Jaya Jakarta, mendaki Everest atas dukungan pembiayaan dari pemerintah Indonesia. Pada pendakian pertama Clara gagal mencapai puncak, lalu yang kedua berhasil tahun 1996 itu," ungkap Yaya.

Yaya menyadari bahwa banyak pihak yang meragukannya benar-benar mencapai puncak Everst pada pendakian tersebut. Hal itu yang kemudian membuat Clara drop secara mental hingga psikologisnya benar-benar terguncang.

Baca Juga: Cegah Kanker, Tes IVA Metode Skrining yang Efektif, Mudah dan Terjangkau

"Meskipun sebenarnya pemerintah sudah memberikan penghargaan sebagai generasi muda yang berhasil mengharumkan nama Indonesia. Tapi masa-masa itu memang maskulinitas begitu kentara, dengan Clara perempuan bisa sampai puncak Everest, penyangkalan pun dengan mudah dihembuskan.

"Saat itu pendakian gunung masih didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga ketika ada perempuan yang berhasil mencapai puncak, justru diragukan. Dia down dan mendapat tekanan mental. Dia curhat kalau mendaki Everest itu taruhannya nyawa. Aku berhasil mengibarkan merah putih di sana, kamera rusak waktu itu. Tapi teman-temanku sendiri menyangsikan," ujar Yaya menirukan.

Situasi ini membuat Yaya akhirnya tergerak untuk mendokumentasikan perjalanan Clara dalam pendakian itu, termasuk mengkliping berita-berita lama. Dalam proses panjang satu tahun lebih, ia mewawancarai pendaki Indonesia yang tinggal di Amerika yang bertemu dengan wartawan Inggris, yang mendata siapa saja pendaki sampai puncak.

"Clara terkonfirmasi di situ. Dia menyatakan Clara sampai atas. Kemudian serpha yang memandu bersaksi bahwa Clara sampai atas. Walaupun turunnya memang dibopong, karena sudah tidak kuat. Tapi kalau sampai puncak, iya dia berhasil, ada saksinya," ungkapnya.

Yaya mengungkap, dua kali pendakian Everest oleh Clara dilakukan melalui jalur berbeda yakni pertama (1994) melalui jalur selatan, dan kedua melalui jalur utara. Clara didampingi oleh kopassus yang memang ditugaskan mendampingi para pendaki Everest.

"Dulu kalau mau mendaki gunung tertinggi, Everest misalnya, itu latihannya ya dengan panjat tebing sama Kopassus di Cijantung. Jadi Clara itu dekat dengan Kopassus. Dia terus berlatih dan pendakiannya kedua melalui jalur utara dia berhasil," lanjutnya.

Clara bisa mendaki Everest atas dukungan pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga saat itu. Selain itu pihak swasta juga tercatat ada yang menjadi sponsor yakni Bakrie (Aburizal).

"Clara sendiri mengakui kalau ke Everest itu butuh biaya mahal waktu itu, tidak ada yang bisa ke sana kecuali didanai negara. Bahkan Clara punya foto bersama ibu negara (Tien Soeharto) karena dia perempuan yang memang saat itu ibu negara ingin ada perempuan berprestasi," tandasnya.

Pada tahun itu, dikatakan Yaya banyak negara  mendukung warganya untuk mendaki Everest karena menjadi sebuah prestasi luar biasa. Negara-negara bersaing untuk dapat mencapai puncak Everest dengan mengirimkan pendaki terbaiknya, termasuk Indonesia ingin melakukannya.

"Makannya ketika Clara bisa mencapai puncak, dia mendapatkan Bintang Nararya dari Presiden Soeharto saat itu. Clara mendahului Malaysia dan negara Asia Tenggara lain sebagai perempuan yang mencapai puncak Everest. Kalau di Indonesia dia orang pertama yang mencapai puncak Everest, bahkan sebelum laki-laki ya," terangnya.

Clara pun disebutkan mampu menginspirasi perempuan-perempuan lainnya untuk mendaki puncak Everest. Clara juga membagikan pengalaman dan pelajarannya lewat Kopassus meski kemudian cerita sebaliknya muncul dan mencuat hingga membuatnya depresi.

"Pasca itu akhirnya memang banyak yang naik Everest. Dari Kopassus mengadakan ekspedisi lagi setelah pendakian Clara, juga berhasil. Perempuan-perempuan juga banyak yang terinspirasi mendaki," tandas Yaya.

Yaya sendiri mengakui sangat tidak mudah menggali data dan fakta dari Clara saat menyusun buku. Kondisi psikologis Clara sangat labil dan ia harus berobat secara rutin secara kejiwaan.

Kini Clara telah tiada, setelah berjuang menghadapi penyakit Diabetes yang dialami dalam bertahun-tahun hidupnya. Ia tak meninggalkan keturunan, namun jejaknya bisa dibaca dalam buku yang kini intelektual propertinya ada bersama keluarga di Minggiran, Mantrijeron Yogyakarta.

Sang kakak, Rita Heru Setyatini pun turut berharap, buku cerita Clara bisa menjadi koleksi siapa saja yang ingin mengetahui kisah hidup sebenarnya perempuan penakluk Everest itu. "Buku ini sudah cetakan ketiga dan masih sangat banyak di rumah. Siapa saja bisa beli, langsung pada kami dan diantarkan. Nanti semua untuk biaya 7 hari, 40 hari sampai nanti 1000 hari Clara," pungkas Heru. (Fxh)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

X