Krjogja.com - YOGYA — Tahun 2026 mendatang, DIY akan menghadapi pengetatan Kembali anggaran, terkait penyelarasan kebijakan pemerintah pusat, yakni terjadinya pemotongan anggaran lebih dari Rp 700 miliar.
Ketua Komisi A DPRD DIY yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar), Eko Suwanto, menyampaikan ketidakpuasannya terhadap lambatnya respons Pemda DIY dalam menindaklanjuti usulan pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan di daerah.
Menurutnya, CSR seharusnya menjadi salah satu solusi penting di tengah ancaman pemotongan anggaran daerah pada 2026, terutama ketika DIY menghadapi tekanan fiskal yang dapat menghambat program kerakyatan.
Baca Juga: APBD DIY 2026 Menciut akibat Pemotongan, Eko Suwanto Ingatkan Dampak pada Serapan Tenaga Kerja
Eko mengatakan bahwa kebijakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah pusat akan memengaruhi langsung kemampuan belanja daerah. Kondisi ini berpotensi menurunkan daya dorong ekonomi, terutama bagi sektor UMKM dan ekonomi mikro yang selama ini menjadi penopang terbesar perekonomian DIY.
Ia mengingatkan bahwa melemahnya anggaran daerah dapat memukul aktivitas ekonomi masyarakat. “Program yang menyentuh rakyat langsung bisa berkurang. Dampaknya jelas terasa di tingkat rumah tangga,” tegasnya, Senin (1/12/2025).
Dalam situasi seperti itu, Eko menilai CSR seharusnya dipandang sebagai peluang emas yang belum dikelola maksimal oleh Pemda DIY. Ia mencontohkan banyak program CSR perusahaan yang selama ini terbukti memberi manfaat bagi berbagai sektor pembangunan, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga penguatan ekonomi masyarakat. Jika dikordinasikan dengan baik, CSR dapat membantu menutup kekurangan pembiayaan program prioritas tanpa membebani APBD. “CSR itu nyata kontribusinya. Jika direncanakan dengan baik, bisa mendukung target pembangunan daerah,” ujarnya.
Selain CSR, Eko juga mengingatkan pemerintah daerah agar serius menggarap peluang pendapatan dari aset milik daerah yang selama ini dibiarkan menganggur. Berdasarkan informasi yang ia terima, terdapat sekitar 90 aset daerah yang belum dimanfaatkan secara produktif. Menurutnya, kondisi tersebut mencerminkan hilangnya potensi pendapatan daerah yang seharusnya bisa memperkuat ruang fiskal. “Opportunity cost-nya besar. Tidak boleh lagi ada aset tidur tanpa memberi nilai ekonomi,” katanya.
Pemda DIY sebelumnya telah menyatakan akan mengoptimalkan pemanfaatan aset daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eko menyambut baik langkah tersebut, termasuk keputusan Pemda untuk tidak menaikkan pajak daerah di tengah tekanan fiskal. Namun ia menegaskan bahwa rencana optimalisasi aset harus dilakukan secara terukur, transparan, dan sesuai peraturan. “Inventarisasi harus dilakukan menyeluruh agar tidak ada lagi aset seperti Hotel Mutiara yang sudah lama dibeli tapi tidak memberikan kontribusi nyata,” ujar Eko.
Ia juga mendorong reformasi menyeluruh terhadap Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang selama ini dinilai belum memberikan kontribusi optimal terhadap PAD. Menurutnya, BUMD yang sehat dapat menjadi motor pendapatan baru sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi daerah. Dengan perbaikan tata kelola, BUMD diyakini mampu membuka lapangan kerja, memperluas peluang usaha, dan meningkatkan pendapatan daerah secara berkelanjutan.
Menutup pernyataannya, Eko menekankan bahwa tahun 2026 harus menjadi momentum perbaikan tata kelola keuangan daerah. Pemda DIY dimintanya untuk lebih progresif memanfaatkan berbagai peluang, mulai dari optimalisasi aset, reformasi BUMD, hingga pemanfaatan CSR secara strategis. “Ruang fiskal boleh menyempit, tetapi kreativitas pemda tidak boleh ikut menyempit. DIY harus tetap bergerak,” katanya.(*)