Kampung Istimewa

Photo Author
- Selasa, 28 April 2020 | 01:27 WIB
Salah satu jalan kampung di Klaten dipenuhi tulisan larangan terkait Covid-19. (Dok Krjogja.com/Sri Warsiti)
Salah satu jalan kampung di Klaten dipenuhi tulisan larangan terkait Covid-19. (Dok Krjogja.com/Sri Warsiti)

Dr Haryadi Baskoro

Penulis adalah pakar keistimewaan Yogya

SEJAK pandemi covid-19 memaksa masyarakat untuk berjaga jarak dan tinggal di rumah saja, suasana kampung pun berubah. Jalan masuk dan gang-gang diblokir. Yang terasa memprihatinkan adalah merebaknya pajangan tulisan-tulisan yang tidak ramah dan tidak santun seperti ’lock down atau smackdown’, ‘keno korona mati radilayati’, ‘wani ngeyel, baku hantam’.

Orang Yogya dikenal suka bercanda dengan ‘candaan rakyat’ (gojek kere). Artinya, kalimat-kalimat yang ketika dibaca sekilas terkesan intimidatif itu, mungkin dikreasi bukan dengan maksud negatif. Namun, jika orang luar mengamatinya baik secara langsung maupun lewat media termasuk medsos, tulisan-tulisan itu jelas merusak city branding Yogya. Apalagi ditulis dengan coretan-coretan yang sama sekali tidak estetik, terpajang asal-asalan. Budayawan, Sumbo Tinarbuko pasti mengkategorikannya sebagah sampah visual.

Itulah sebabnya pemerintah Yogya mengelola pandemi ini secara komprehensif. Bukan hanya dengan pendekatan teknis tetapi pendekatan kultural. Sultan HB X sebagai Raja sekaligus Gubernur DIY nampak menekankan perpaduan kedua pendekatan ini. Dalam sapa aruh yang beberapa kali beliau sampaikan, Sultan berbicara banyak tentang keutamaan nilai-nilai luhur.

Semestinya, di tingkat masyarakat kampung juga diterapkan pendekatan holistik seperti itu. Dan salah satu bentuk pendekatan kultural adalah penggunaan tutur kata yang arif, bijak, dan santun. Secara antropologis, bahasa mendahului kebudayaan, logika bahasa akan membangun nilai, norma, dan perilaku (Nur Syam, 2007).

Jangan meremehkan bahasa. Ada ungkapan ‘bahasa menunjukkan bangsa’ yang berarti bahwa bahasa merepresentasikan kualitas masyarakat. Ada pula ungkapan Jawa ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana yang berarti bahwa bahasa itu cermin harkat dan martabat manusia. Dalam perspektif antropologi strukturalisme, kebudayaan merupakan produk dari aktivitas nalar manusia dalam hal mana aktivitas nalar manusia itu memiliki kesejajaran dengan bahasa (Nur Syam, 2007).

Vandalisme dalam berbahasa merupakan indikator kebobrokan budaya. Dalam interaksi digital modern hal itu sudah jelas. Merebaknya ujaran kebencian, kabar bohong, perundungan, cyber radicalism dan cyber terrorism merupakan indikator kebobrokan masyarakat. Konflik sosial dan perang fisik senantiasa dipicu dan dimulai dari provokasi kebahasaan.

Kampung-kampung adalah basis sejarah kebudayaan dalam Keistimewaan Yogya. Sistem kampung di bawah Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman sudah ada sejak zaman kolonialisme. Di masa pendudukan Jepang, Kasultanan Yogya melakukan reorganisasi sistem pemerintahan (reorganisasi pangreh praja) pada April 1945.

Dalam reorganiasi itu, kawedanan (distrik) dihapus. Setiap kabupaten langsung dibagi menjadi beberapa asistenan dan dinamakan kapanewon yang dipimpin oleh panewu pangreh praja. Kawedanan dan asistenan yang berada di dalam Kabupaten Kota Yogyakarta dihapus.

Kabupaten kota dibagi menjadi beberapa kemantren yang masing-masing dipimpin oleh mantri pangreh praja. Setiap kemantren dibagi menjadi beberapa Rukun Kampung (Aza Shokai). Setiap Rukun Kampung itu terdiri atas beberapa Rukun Tetangga (Tonari Kumi).

Dalam buku ‘Toponim Kota Yogyakarta’ (2007), perkampungan di Kota Yogya memiliki akar sejarah kebudayaan. Ada kampung-kampung yang nama-namanya berdasar pada ketokohan bangsawan, misalnya kampung Suryoputran yang mencakup kawasan di sekitar kediaman GPH Suryoputro yang adalah putera Sultan HB VI. Ada kampung-kampung yang namanya terkait keahlian para abdi dalem Kraton, misalnya kampung Pandean yang dulu didiami abdi dalem yang bertugas membuat peralatan dari besi.

Dalam Keistimewaan Yogya, kampung-kampung dikembangkan berbasis ‘toponim’ yang mana dari nama-namanya saja sudah sarat makna kultural. Kampung di Yogya lebih dari sekedar entitas pemukiman, tetapi pusat-pusat kearifan lokal dalam kebhinnekaan budaya. Pandemi covid-19 menjadi tantangan bagi kita untuk membangun kampung-kampung yang bukan hanya sehat, aman, dan makmur, namun berbudaya luhur. (Artikel ini dimuat di kolom Analisis KR, Selasa 28 April 2020)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

Mudik Virtual

Jumat, 22 Mei 2020 | 11:56 WIB

Pasar Rakyat

Senin, 18 Mei 2020 | 01:52 WIB

Digitalisasi Buku

Sabtu, 16 Mei 2020 | 05:12 WIB

Akhir Pandemi

Jumat, 15 Mei 2020 | 04:44 WIB

Kerja Sama

Kamis, 14 Mei 2020 | 08:24 WIB

BST dan Pandemi

Rabu, 13 Mei 2020 | 02:30 WIB

Era New Normal

Selasa, 12 Mei 2020 | 09:56 WIB

Daya Tahan PTS

Senin, 11 Mei 2020 | 08:20 WIB

Pandeminomics

Sabtu, 9 Mei 2020 | 09:41 WIB

Ruang Sosial

Jumat, 8 Mei 2020 | 07:28 WIB

Didi Adalah Kita

Rabu, 6 Mei 2020 | 06:00 WIB

Kembalinya Pendidikan Keluarga

Selasa, 5 Mei 2020 | 07:24 WIB

Disrupsi Pangan

Senin, 4 Mei 2020 | 05:24 WIB

Belajar dari Covid-19

Sabtu, 2 Mei 2020 | 09:25 WIB

Menyelamatkan UMKM

Kamis, 30 April 2020 | 02:12 WIB

'Virus Sosial'

Rabu, 29 April 2020 | 08:00 WIB

Kampung Istimewa

Selasa, 28 April 2020 | 01:27 WIB

Sanksi PSBB

Senin, 27 April 2020 | 06:45 WIB

'Password Stuffing'

Sabtu, 25 April 2020 | 11:07 WIB

THR Bagi PNS

Jumat, 24 April 2020 | 05:47 WIB
X