ADA yang menarik di tengah ketegangan yang dirasakan publik sebagai akibat terus meningkatnya penularan Covid-19. Ada sebagian di antara mereka yang mencoba menuliskan kalimat-kalimat guyon di laman media sosial seperti: ‘Corona negatif istri positif’. ‘Jalan ini ditutup kalau kangen WA aja ya’. ‘Ternyata corona tidak menyeramkan’ (dengan gambar wanita cantik dengan nametag Corona).
Juga masih banyak puluhan tulisan lucu lainnya yang tertulis di gang-gang masuk desa seperti: ‘Jalan di look down’. ‘Maaf jalan baru di down load’. Atau ‘lock down bro rasah ngeyel’. Kehadiran kalimat atau tulisan guyon tersebut pada satu sisi menjadi penanda bahwa publik tidak ingin terlalu larut dalam ketegangan psikologis yang justru akan melemahkan imunitas diri.
Kepekaan sosial secara simbolik dihadirkan melalui tulisantulisan yang meskipun lucu namun mampu membangun sisi kemanusiaan. Secara komunal juga mampu menstimulan publik untuk tidak terlalu khawatir namun juga jangan sampai abai.
Pola komunikasi seperti ini yang harus terus dibangun. Karena secara sosiologis tipologi masyarakat kita menganut pola interaksi kekerabatan atau komunal dimana social bonding yang terjalin cukup kuat. Baik dilatarbelakangi garis keturunan, spesialisasi pekerjaan, hobi, teman sepermainan, teman kantor, interaksi sosial dalam satu komunitas atau wilayah, dan lain-lain.
Dalam sistem demokrasi, negara sangat membutuhkan dukungan dari publik. Putnam, dalam bukunya Making Democracy Work (1993) menunjukkan bahwa modal sosial yang meliputi sikap saling percaya, norma norma timbal balik, dan jaringan civic engagement yang ditunjukkan masyarakat, akan sangat membantu negara. Apa yang dilakukan publik dengan men-share tulisan guyon atau kalimat peringatan yang terkesan melarang tapi dengan pilihan kata yang lucu, merupakan salah satu bentuk kepedulian mereka dengan imbauan pemerintah.
Publik secara spontan telah membangun mekanisme pertahanan komunal baik secara medis dengan menerapkan pola hidup sehat dan social/physical distancing dengan saling mengingatkan untuk menjaga jarak. Termasuk kecerdasan sosial mereka untuk tetap bisa bersikap rasional dengan keadaan yang ada, salah satunya dengan mengedepankan guyonan-guyonan kemanusiaan yang dalam situasi seperti ini memang diperlukan. Guyonan atau lelucon yang maton barangkali dianggap sesuatu yang sepele.
Namun, dalam realitasnya justru memiliki peran penting untuk menjaga kesehatan dan kewarasan diri agar sebagai manusia bisa menjalani hidup dengan dinamis, ora spaneng. Sehingga mampu mengambil peran kemanusiaan dengan baik. Orang Jawa mengenal istilah ngono yo ngono, ning aja ngono, banyak hal yang bisa dimaknai dengan istilah tersebut dalam berbagai situasi serta kondisi.
Dan saat ini kita perlu memaknainya untuk tetap menjaga kewarasan diri sebagai manusia. Bahwa kita sadar sedang berada pada kondisi darurat yang membutuhkan kedisiplinan hidup. Namun di antara kewaspadaan bahkan mungkin kekhawatiran yang kita rasakan kita tetap dituntut untuk waras ning aja ngono, salah satunya dengan menjaga diri untuk tetap bahagia, bisa secara individual maupun yang disengkuyung secara bersama-sama secara komunal.
Kita memang dilahirkan dalam kultur komunalitas yang menganut falsafah mangan ora mangan ngumpul. Yang menandakan adanya kebersamaan dalam suka dan duka, meski kemudian dalam wabah ini kita harus mawas diri untuk tidak ngumpul. Namun demikian, satu hal yang tidak boleh hilang adalah kebiasaan kita untuk tetap bisa menjaga komunikasi bersama. Dan guyonan kemanusiaan yang maton adalah penanda bahwa kita manusia sosial.
(Agung SS Widodo MA, Penulis adalah Peneliti Sosial Politik PSP UGM dan TADPRD Kabupaten Sleman)-, Tulisan ini terbit di kolom Anilisis KR, di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat edisi Kamis, 16Â April 2020)