SEJAK kasus-kasus pneumonia di Wuhan dilaporkan ke WHO, Kementerian Kesehatan Indonesia sudah mulai mengaktifkan pemantauan gejala penyakit pernapasan di rumah sakit, yang ternyata tidak efektif mendeteksi wabah. Selama wabah Covid-19 diperkirakan satu orang penderita rata-rata menularkan coronavirus tersebut kepada sekitar 2-3 orang.
Di balik angka tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa 20% penderita menularkan coronavirus kepada 80% penderita yang lain (kaidah 20/80). Mereka yang termasuk dalam 20% tersebut mampu menularkan kepada belasan bahkan puluhan orang lain. Penular yang sangat efektif dinamakan superspreader.
Seorang laki-laki dari Wuhan ikut konferensi di Singapura (tanggal 20-22 Januari) menularkan virus Korona kepada Steve Walsh, berkebangsaan Inggris. Ia kemudian berlibur dulu main ski di kaki pegunungan Alpen, wilayah Prancis. Di tempat bermain ski, Steve Walsh (53 tahun) Â dalam waktu 4 hari sekurang-kurangnya telah menularkan coronavirus ke 11 orang.
Dengan jumlah kematian tertinggi di dunia akibat Covid-19, Pemerintah Italia sempat mendapat tekanan dari negaranegara tetangganya untuk lebih serius menangani wabah. Seorang pelari maraton bernama Mattia, umur 38 tahun diduga sebagai superspreader, menularkan kepada 13 orang, temasuk istrinya yang sedang hamil, teman joging, dua orang dokter (bersama tenaga kesehatan dan pasien lain), seorang dokter keluarga langganannya, 3 orang lanjut usia yang sering bercengkerama di pub dan seorang wanita berusia 77 tahun yang akhirnya meninggal dunia. Mattia sendiri menderita radang paru-paru parah.
Di Korea Selatan, seorang wanita berumur 61 tahun anggota jemaat Gereja Shincheonji terlacak sebagai sumber wabah yang diperkirakan menjadi sumber rantai penuluran kepada 60% dari 3.736 kasus Covid-19 di Korea Selatan (terhitung 1 Maret 2020). Wanita tersebut ditengarai sebagai pasien ke-31 di Korea Selatan.
Lima tahun silam, wabah penyakit MERS-CoV, disebabkan oleh salah satu jenis virus Korona juga melanda Korea Selatan. Penularan pada 186 kasus penyakit dengan 38 orang meninggal diperkirakan dipicu superspreader (pasien ke-14) yang dirawat di ruang gawat darurat dengan pasien-pasien berjubel. Hanya dalam waktu 3 hari (27-29 Mei 2015), pasien tersebut menularkan MERS-CoV kepada 33 pasien lain, 8 petugas kesehatan dan 41 pengunjung rumah sakit.
Wabah SARS yang berkecamuk 2002 tidak terlepas dari peran dokter ahli paru asal China, Dr Liu Jianlun (64 tahun), sebagai superspreader. Selama menginap sehari semalam di kamar 911 Metropole Hotel, Hong Kong, dokter tersebut menularkan coronavirus kepada 7 orang yang menginap di lantai 9 pada hotel yang sama.
Salah seorang yang tertular meninggalkan Metropole Hotel menuju Vietnam dan dirawat di rumah sakit Hanoi. Sebulan dirawat pasien meninggal, setelah menularkan SARS kepada beberapa orang petugas rumah sakit.
Fenomena superspreader terjadi akibat interaksi kuman dan inang yang mendongkrak penularan kuman secara efisien. Pakar epidemiologi di Iran melacak apakah seorang pebisnis yang baru pulang dari China dan tinggal di Kota Ziarah Qom, dapat dikategorikan superspreader? Tanggal 19 Februari Pemerintah Iran mengumumkan 2 orang terinfeksi SARSCoV-2, dua hari menjelang pemilihan anggota parlemen. Belum genap sebulan, ribuan orang telah terinfeksi dan dalam beberapa hari diketahui puluhan orang meninggal karena Covid-19.
Seorang superspreader mungkin jatuh sakit parah akibat Covid-19 seperti Mattia di Italia, atau sebagaimana Steve Walsh di Inggris, hampir tidak mengalami gejala sakit. Seorang yang diketahui sebagai superspreader tidak cukup menunggu 2 kali hasil pemeriksaan negatif untuk dinyatakan sembuh, sekurang-kurangnya 3 kali pemeriksaan dalam rentang 3 minggu.
Merupakan tantangan bagi WHO untuk merumuskan definisi operasional superspreader, dan protokol untuk menerapkan tata-laksana kepadanya. (Prof Dr Hari Kusnanto, Guru Besar Departemen Kedokteran Keluarga dan Komunitas, FKKMK, Universitas Gadjah Mada)-d