TRANSPORTASI online di Indonesia diawali dengan masuknya taksi online Uber, perusahaan yang berasal dari Amerika, tahun 2014. Awal masuknya transportasi online ini menjadi kontroversi di masyarakat, terutama karena mengancam eksistensi taksi konvensional. Selanjutnya, masuk taksi online Grab yang berasal dari Malaysia, dan pada saat yang sama muncul Go-Jek dari Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, transportasi online ternyata disambut sangat baik oleh masyarakat, baik konsumen maupun mitra penyedia jasa (pengemudi dan pemilik kendaraan). Layanan yang diberikan bahkan tidak saja terbatas layanan transportasi biasa, namun menawarkan pula jasa lain yang mengandung unsur transportasi, dan bahkan menawarkan jasa yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan transportasi.
Tahun 2015 merupakan tonggak sejarah perubahan layanan transportasi publik personal di Indonesia, yaitu dengan perkembangan transportasi online yang sangat pesat. Saat ini layanan transportasi publik personal non-online (konvensional) sudah jauh berkurang, dan kemungkinan beberapa waktu mendatang akan tinggal menjadi sejarah.
Tahun 2015, Indonesia dilayani 3 perusahaan transportasi online yaitu Uber, Grab, dan Go-Jek. Di antara ketiga perusahaan tersebut, nampaknya Go-Jek memiliki pangsa paling besar. Beberapa sumber informasi menyebutkan bahwa tahun 2016 Go-Jek memiliki pangsa pasar lebih dari 50%. Hal ini tentu cukup membanggakan karena perusahaan dalam negeri mampu mengalahkan dua perusahaan asing dengan perbedaan pangsa yang cukup signifikan.
Persaingan transportasi online tampaknya cukup ketat. Berdasarkan teori Structure Conduct Performance (SCP) persaingan ini semestinya menghasilkan benefit dan kesejahteraan yang cukup baik bagi masyarakat, apakah berupa kualitas layanan, maupun tingkat harga yang sesuai. Meskipun belum ada publikasi data yang akurat, berapa benefit yang diterima masyarakat karena adanya transportasi online ini, namun semakin eksisnya transportasi online merupakan pertanda bahwa masyarakat mendapat manfaat lebih dengan layangan transportasi publik personal online dibanding konvensional.
Tahun 2018, terjadi perubahan yang signifikan dalan industri transportasi online. Tahun 2018, tepatnya tanggal 26 Maret, Grab secara resmi mengakuisisi Uber. Tidak diketahui persis mengapa Uber keluar dari industri transportasi online untuk seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini tentu akan mengubah peta industri transportasi online di Indonesia. Struktur yang ada saat ini tinggal ada dua pemain (perusahaan) atau dikenal dengan duopoli. Dengan struktur duopoli ini maka secara praktis akan sangat mudah bagi perusahaan untuk melakukan strategi dan praktik monopoli dengan membuat kesepakatan di antara dua perusahaan yang ada. Monopoli, di mana dalam industri hanya ada satu perusahaan, merupakan struktur pasar yang dinilai memiliki potensi untuk merugikan masyarakat.
Monopoli biasanya akan menerapkan praktik-praktik monopoli yang dapat merugikan masyarakat (konsumen maupun suplier) yang dikenal dengan welfare loss. Oleh karena itu banyak negara memiliki Undang-Undang anti monopoli, atau undang-undang yang mengatur persaingan usaha. Di Indonesia diatur dengan UU no.5 Tahun 1999.
Jika ada perusahaan yang berstruktur monopoli atau melakukan praktik-praktik monopoli, maka dianggap melanggar UU tersebut dan dapat dikenai tuntutan. Kalaupun ada produk atau jasa yang secara alamiah berstruktur monopoli, maka akan dikuasai oleh negara.
Pertanyaannya, apakah monopoli begitu berbahaya bagi masyarakat? Pada dasarnya, selama monopolis tidak menerapkan praktik-praktik monopoli, yaitu menerapkan harga yang tidak wajar dan merugikan konsumen, maka monopoli tidak berbahaya. Monopoli yang demikian biasanya adalah monopoli yang selalu mendapat tekanan dari pelaku usaha baru (entrance). Bila ada potential entrance, monopolis akan menjaga dari pesaing-pesaing potensialnya dengan selalu berinovasi untuk memuaskan konsumen. Jika demikian, maka monopoli justru akan berkinerja baik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kasus transportasi online di Indoneasia, karena dalam industri hanya ada dua perusahaan, maka bisa saja kedua perusahaan melakukan kesepakatan untu menetapkan harga secara sepihak guna memaksimalkan penerimaan (revenue) yang dapat merugikan konsumen. Selain itu, dari sisi suplier mereka juga bisa membuat kesepakatan ìharga beliî atas jasa yang diberikan oleh mitranya (pengemudi dan pemilik kendaraan), sedemikian rupa sehingga perusahaan (Go-Jek dan Grab) akan mendapatkan keuntungan maksimal.
Oleh karena itu, dengan struktur duopoli ini, maka industri transportasi online perlu diawasi agar tidak melakukan praktik-praktik monopoli. Karena jika terjadi praktik-praktik monopoli, maka transportasi online dapat menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, baik terhadap konsumen maupun mitra penyedia jasa (pengemudi dan pemilik kendaraan).
Di lapangan, keluhan yang sering terdengar adalah minimnya pendapatan pengemudi. Jika beberapa waktu lalu pengemudi dengan mudah untuk mendapatkan penghasilan cukup, saat ini para pengemudi mengeluhkan sulitnya mendapatkan order untuk mencapai pendapatan yang cukup. Mereka menyadari bahwa hal ini karena banyaknya saingan pengemudi. Namun disisi lain juga karena adanya kebijakan perusahaan yang semakin memangkas bonus, maupun penentuan tarif yang tidak berpihak pada pengemudi. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius, jangan sampai hal ini terjadi karena adanya praktik monopoli.
Di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia, industri transportasi online bahkan hanya ada satu perusahaan. Namun, dari beberapa sumber informasi, Singapura sudah menyiapkan beberapa instrumen pengawasan agar Grab tidak melakukan praktik-praktik monopoli yang dapat merugikan masyarakat Singapura.
(Dr Murti Lestari MSi. Dosen FE UKDW, Pengurus ISEI Cabang DIY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 8 Mei 2018)