KEBERADAAN tahun egoisme datang bersamaan†hadirnya perayaan tahun politik. Pada saat yang sama, hadir pula penampakan visual komunitas egoisme. Aktivis komunitas egoisme senantiasa memiliki gandheng ceneng dengan urusan parpol dan pilkada. Demi kejayaan dan kesuksesannya di tahun egoisme ini, mereka sengaja menerapkan ideologi sesat: adigang, adigung, adiguna. Dalam perspektif Budaya Jawa, tuturan adigang, adigung, adiguna, dipahami sebagai sifat negatif seseorang atau kelompok masyarakat. Dalam aksinya, mereka senantiasa senang menyombongkan diri akan kekuatan, kekuasaan dan kepandaian yang dimilikinya.
Di tahun egoisme ini, komunitas egoisme mendapat lahan subur guna menyiapkan para pemburu kekuasaan menjadi pemenang pemilu. Mereka membangun jaringan sosial dengan pendekatan perspektif komunikasi politik. Para calon pejabat penyelenggara negara secara visual dikemas sedemikian rupa agar layak jual. Mereka mengkomodifikasikan wajah calon bupati, walikota, dan gubernur layaknya produk barang dan jasa. Dengan pendekatan komunikasi visual, mereka memoles wajah calon pejabat publik penyelenggara negara. Hal itu lakukan secara total oleh komunitas egoisme agar tampak mentereng dan berwibawa.
Berkat campur tangan komunitas egoisme ini, para pemburu kekuasaan membangun komunikasi politik lewat iklan politik. Di sepanjang tahun tahun egoisme ini, dapat dijumpai sejumlah iklan politik yang memanfaatkan seluruh media iklan. Mereka sepakat menjadikan iklan politik yang disebar di ruang publik sebagai andalannya.
Atas keyakinan visual semacam itu, pancangan iklan politik di ruang publik menjadi penanda visual yang hadir secara masif. Di dalam iklan politik tersebut, terpampang wajah kandidat bupati, walikota, gubernur dalam pose formal. Representasi visual seperti itu dimitoskan sebagai orang yang bijaksana. Calon pejabat penyelenggara negara yang berperangai murah senyum serta santun. Ia juga dihadirkan dalam penampakan visual sebagai pekerja keras. Pertanyaannya, ketika melihat iklan politik kandidat bupati, walikota dan gubernur yang ditancapkan di ruang publik sebagai alat peraga kampanye pemilu, mampukah keberadaannya menggugah antusiasme calon pemilih?
Realitas sosial di lapangan mencatat beragam fakta. Ketika iklan politik lebih mementingkan memajang wajah calon pejabat penyelenggara negara. Dalam perspektif budaya visual, strategi semacam itu merupakan cara jitu untuk bunuh diri di tahun egoisme ini. Hal yang sama juga terjadi saat iklan politik menampilkan visualisasi janji politik gombal gambul. Pada sudut ini mengindikasikan dirinya sebagai calon pejabat penyelenggara negara yang tidak pernah kenal dengan calon pemilih.
Ujung dari akrobat iklan politik semacam itu membuncahkan kesan negatif di kalangan masyarakat. Puncaknya, sebagian besar masyarakat merasa terganggu secara visual. Sebagian besar masyarakat merasa mendapat teror visual dari parpol atas iklan politik yang difungsikan sebagai peraga kampanye. Masyarakat menilai parpol sebagai motor penggerak kampanye politik merasa tidak bersalah saat memasang iklan politik yang dipasang sembarangan ruang publik.
Atas realitas sosial tersebut di atas, sejatinya masyarakat tidak butuh kampanye politik transaksional. Masyarakat tidak ingin menjumpai alat peraga kampanye politik yang kehadirannya menjadi teroris visual. Masyarakat tidak mau terpapar bencana sosial akibat iklan politik di ruang publik menghadirkan daya ganggu visual yang sangat signifikan.
Masyarakat membutuhkan sebentuk aktivitas kampanye damai, berbudaya dan nyeni. Sebuah kampanye politik yang mampu menggugah masyarakat untuk bersama-sama berkarya nyata guna memecahkan permasalahan yang paling dekat dengan warganya.