BUKAN sesuatu yang sulit untuk mengatakan telah terjadi pembelokan fakta sejarah pada cara memaknai peringatan 22 Desember saat ini. Pada kenyataannya sejarah memang mencatat bahwa ada jejak penting yang menjadi penanda kebangkitan gerakan perempuan Indonesia 89 tahun yang lalu (22 Desember 1928). Akan tetapi harus juga diakui kalau warisan pengetahuan Orde Baru justru lebih berpengaruh. Akibatnya sebagian besar masyarakat masih lebih nyaman untuk terus memberikan label Hari Ibu pada tanggal tersebut.
Fenomena ini jelas menjadi pembelajaran penting bagi kelompok feminis atau penggiat kajian jender. Orde Baru, di sini, bisa kembali dimunculkan sebagai faktor penyebab. Toh, Julia Suryakusuma (2011), misalnya sangat berhasil membuktikan bagaimana nilai-nilai keperempuanan yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru mutlak merujuk pada peran-peran domestik yang mengkristal pada sebutan ‘ibu’ (state of ibusim). Namun menjadikan ‘hantu’ Orde Baru sebagai kambing hitam juga tidak cukup saat ini mengingat kehadiran sosok ‘ibu’ semakin diwarnai oleh banyak ragam kepentingan.
Sebutan ibu tidak hanya digunakan untuk melestarikan mitos bahwa perempuan adalah manusia domestik yang hanya berhak atas dapur, kasur, dan sumur. Lebih dari itu, kata ibu kini semakin sering digunakan sebagai alat penjaga kestabilan nilai-nilai tertentu, seperti dalam label multitasking atau tugas ganda sendiri adalah istilah teknologi yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana banyak pekerjaan dapat dikelola melalui satu sistem prosesor (CPU) yang sama.
Konon perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengerjakan banyak hal dalam sekali waktu. Sebagai ibu, misalnya tidak hanya memikirkan kualitas pertumbuhan anak namun juga mampu mengelola kondisi perekonomian keluarga. Bagi yang berstatus ibu rumah tangga, mereka seolah-olah mempunyai kemampuan bawaan untuk membelanjakan pengeluaran secara bijak. Sementara itu, untuk perempuan yang bekerja dan yang sekaligus memiliki anak, multitasking tidak hanya sekadar persoalan pembagian waktu.
Namun merujuk pada kemampuan mendayagunakan seluruh kapasitas pikiran, tenaga, dan mentalnya untuk selalu hadir di tempat kerja dan rumah kapanpun dibutuhkan. Sebagai perempuan pekerja dituntut menunjukkan kecekatan dan keterampilan dengan standar laki-laki. Ketika kembali ke rumah dirinya adalah ibu yang tidak boleh lelah mengasuh. Demikian halnya ketika berposisi sebagai istri, mereka pantang untuk kehilangan tubuh cantik dan mempesona di hadapan suaminya. Persoalannya bukan pada sulit atau tidaknya menjadi multitasking namun siapa yang sebenarnya menyerap banyak keuntungan dari situasi ini.
Menjadi multitasking jelas membutuhkan energi dan sumber daya besar yang oleh karenanya para perempuan ini membutuhkan strategi. Gayung bersambut, mesin-mesin kerja rumah tangga semakin beragam diperjualbelikan. Kelas-kelas parenting bahkan dibuka sehingga ibu yang sibuk tetap bisa mempelajari standar terbaru mendidik anak. Bagi yang waktunya terbatas, ada klinik kecantikan yang memodifikasi pelayanannya sehingga perawatan tubuh dapat dilakukan di rumah. Terdapat juga jasa pelatihan bisnis online bagi ibu rumah tangga namun ingin berpenghasilan. Pada akhirnya, muara dari layanan jasa tersebut adalah konsumsi.
Multitasking seolah-olah adalah keharusan. Jika tidak, mereka seperti gagal menjadi ‘ibu modern’. Maka perayaan Hari Ibu sering diritualkan dengan ‘mengistirahatkan’ para ibu dari berbagai pekerjaan domestik yang selama ini dilakukan. Wacana ini penting bukan sematamata sistem masyarakat patriarkhi masih membutuhkan peran domestik dikerjakan perempuan sehingga laki-laki tetap unggul dalam hal dominasi dan kepemimpinan di publik. Namun ini juga persoalan pasar dan industri. Layanan jasa yang bentuknya lebih beragam dari yang disebutkan di atas juga membutuhkan imajinasi ëibuà yang berarti manusia multitasking itu sebagai konsumen.
Apabila masyarakat memiliki kesadaran untuk menggeser Hari Ibu menjadi Hari Perempuan, yang mana maknanya sangat berbeda maka dapat dipastikan sejumlah bisnis akan mengalami kemunduran.