analisis-kr

Ruang Sosial

Jumat, 8 Mei 2020 | 07:28 WIB
Ilustrasi Ihoto by MChe Lee on Unsplash

Dr Sutaryono

Penulis adalah Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

PADA masa pandemi Covid-19, kita 'disuguhi' perdebatan penggunaan istilah social distancing dan physical distancing. Mengapa? Karena kedua istilah tersebut seolah-olah mempunyai orientasi yang berbeda, padahal sejatinya kedua istilah itu tujuannya sama. Merujuk pada berbagai sumber, baik social distancing and physical distancing merupakan tindakan pembatasan segala bentuk kerumunan, menjaga jarak, menghindari pertemuan yang melibatkan banyak orang dengan tujuan untuk mengurangi penularan virus. Dalam konteks ini, kedua istilah tersebut objeknya adalah ruang sosial.

Ruang sosial, menurut Lefebvre (1991) merupakan salah satu bentuk ruang di samping ruang fisik dan ruang mental. Ruang mental berupa mindset dan pola pikir. Sedangkan ruang sosial adalah ruang fisik atau non fisik (virtual) yang merupakan media interaksi sosial dan dibentuk oleh tindakan sosial baik bersifat individual maupun kolektif. Situasi ruang sosial masyarakat dalam penanganan Covid-19 saat ini pada posisi yang rentan.

Kondisi ini sangat dipengaruhi berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, kondisi perekonomian masyarakat, referensi informasi yang digunakan. Juga perbedaan daya tangkap dan pemahaman terhadap terhadap pesan edukasi dalam penanganan Covid-19 hingga pada sentimen pribadi. Tanpa pengelolaan baik, akan menimbulkan kegaduhan bahkan konflik antaranggota masyarakat.

Tingkat pendidikan memberikan pengaruh terbesar dalam pensikapan situasi ini. Pemahaman dan kesadaran untuk menjalankan protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penularan Covid-19 diterima sebagai hal yang rasional dan perlu dilakukan. Hal ini dijumpai pada komunitas masyarakat dengan tingkat pendidikan yang baik.

Pada masyarakat lain dengan tingkat pendidikan yang beragam, situasinya jauh berbeda. Praktik-praktik lockdown kampung secara ketat adalah salah satu wujudnya. Pihak luar yang tidak dikenal dilarang keras memasuki kampung dengan alasan apapun.

Ironisnya, pospos penjagaan digunakan sebagai tempat ngumpul-ngumpul yang justru kontraproduktif dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19, seperti berkumpul tidak mengenakan masker. Kondisi perekonomian masyarakat secara jelas tergambar aktivitas anggota masyarakatnya. Stay at home dan work from home hanya bisa direalisasikan anggota masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.

Sementara itu, anggota masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung harus tetap melakukan aktivitas harian guna pemenuhan kebutuhan hidupnya. Referensi informasi yang digunakan dan daya tangkap pesan dari pihak eksternal menjadi faktor penentu dalam pengambilan kebijakan di masyarakat.

Faktor ini menjadi titik krusial terjadinya perbedaan persepsi yang berujung pada disharmoni sosial. Utamanya pada berbagai aktifitas keagaamaan dan mudik. Ketidakkompakan antarberbagai pihak dalam mensikapi himbauan pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menjadikan praksis keberagamaan dan respons terhadap pemudikpun berbeda-beda.

Penentuan kondisi kampung termasuk zona hijau, kuning atau bahkan merah, juga berbedabeda antarpemuka agama dan tokoh masyarakat. Yang paling mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan menyepelekan protokol kesehatan dan imbauan pemerintah. Di samping beberapa faktor di atas, kepentingan dan sentimen pribadi terkadang menyelinap dan mempengaruhi keputusan para relawan di lapangan maupun keputusan para tokoh masyarakat.

Hal ini sangat tampak pada aktivitas keseharian masyarakat. Para petani yang biasanya bebas keluar masuk dengan jalan terdekat, terpaksa harus memutar melalui pintu masuk yang dijaga relawan. Kegagalan mengelola berbagai faktor di atas dapat menimbulkan permasalahan baru yang justru bisa berdampak panjang pascapandemi Covid-19.

Karenanya, evaluasi terhadap berbagai praksis penanganan dan penanggulangan Covid-19 di masyarakat perlu dilakukan secara serius. Baik oleh anggota masyarakat yang terlibat maupun institusi pemerintah, utamanya pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa. Jangan sampai modal sosial dan kegotongroyongan dalam penanggulangan pandemi Covid-19, yang ditunjukkan sebagian besar masyarakat kita, berubah menjadi gejalagejala disharmoni sosial yang kontraproduktif. (Artikel ini dimuat di Kolom Analisis KR, 8 Mei 2020)

Tags

Terkini

Mudik Virtual

Jumat, 22 Mei 2020 | 11:56 WIB

Pasar Rakyat

Senin, 18 Mei 2020 | 01:52 WIB

Digitalisasi Buku

Sabtu, 16 Mei 2020 | 05:12 WIB

Akhir Pandemi

Jumat, 15 Mei 2020 | 04:44 WIB

Kerja Sama

Kamis, 14 Mei 2020 | 08:24 WIB

BST dan Pandemi

Rabu, 13 Mei 2020 | 02:30 WIB

Era New Normal

Selasa, 12 Mei 2020 | 09:56 WIB

Daya Tahan PTS

Senin, 11 Mei 2020 | 08:20 WIB

Pandeminomics

Sabtu, 9 Mei 2020 | 09:41 WIB

Ruang Sosial

Jumat, 8 Mei 2020 | 07:28 WIB

Didi Adalah Kita

Rabu, 6 Mei 2020 | 06:00 WIB

Kembalinya Pendidikan Keluarga

Selasa, 5 Mei 2020 | 07:24 WIB

Disrupsi Pangan

Senin, 4 Mei 2020 | 05:24 WIB

Belajar dari Covid-19

Sabtu, 2 Mei 2020 | 09:25 WIB

Menyelamatkan UMKM

Kamis, 30 April 2020 | 02:12 WIB

'Virus Sosial'

Rabu, 29 April 2020 | 08:00 WIB

Kampung Istimewa

Selasa, 28 April 2020 | 01:27 WIB

Sanksi PSBB

Senin, 27 April 2020 | 06:45 WIB

'Password Stuffing'

Sabtu, 25 April 2020 | 11:07 WIB

THR Bagi PNS

Jumat, 24 April 2020 | 05:47 WIB