Dr Jangkung H Mulyo
Penulis adalah Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM dan Pendiri Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)
SEJARAH peradaban dunia berubah drastis semenjak mewabahnya Covid-19. Kedahsyatan sang virus telah menggoncangkan tata kehidupan dunia. Sektor pertanian dan pangan sebagai penyangga utama keberlangsungan peradaban manusia terdampak nyata. Disrupsi pada sektor pangan semakin hari semakin nyata adanya, baik pada aspek pasokan, aspek konsumsi, maupun aspek distribusi.
Pada aspek pasokan, proses produksi pangan di on-farm mengalami kendala. Risiko terinfeksi Covid-19 akan menjadi pertimbangan petani dalam mengelola proses produksi. Ketersediaan input produksi juga mengalami gangguan. Sementara pada aspek konsumsi, disrupsi diindikasikan terjadinya penurunan volume transaksi karena menurunnya daya beli masyarakat. Banyak konsumen yang kehilangan pekerjaan, dirumahkan, atau bekerja dalam waktu yang terbatas sehingga income yang diperoleh akan berkurang.
Aspek distribusi pangan juga terganggu karena adanya penutupan sebagian lokasi dan imbas dari penurunan daya beli konsumen. Banyak moda transportasi publik yang tidak beroperasi atau membatasi frekuensi operasionalnya, baik pada moda transportasi darat, laut maupun udara. Pelajaran apa yang bisa kita peroleh dari pandemi ini? Paling tidak ada tiga catatan penting yang bisa kita petik.
Pertama, perlunya reorientasi pendekatan pembangunan sektor pangan. Saatnya kita untuk mengkaji kembali urgensi dari implementasi pendekatan ketahanan pangan (food security approach, FSA). FSA tersebut perlu untuk digantikan dengan pendekatan yang lebih kukuh dan lebih berorientasi pada kepentingan nasional, yaitu pendekatan kemandirian pangan (food self-sufficiency approach, FSSA).
FSSA hakikatnya bertumpu pada pemikiran bahwa pangan merupakan kebutuhan primer dan vital bagi manusia. Tiada kehidupan yang bisa survive tanpa ditopang kecukupan pangan.
Urusan pangan pokok rakyat tidak boleh digantungkan pemenuhannya kepada bangsa lain. Dengan kata lain, menjadi bangsa yang mandiri pangan merupakan salah satu prasyarat dasar untuk dapat mewujudkan cita-cita menjadi bangsa besar yang tangguh dan berdaulat.
Ketangguhan dan kedaulatan bangsa akan menjadi rapuh, manakala pemenuhan pangannya sangat bergantung pada bangsa lain. Kedua, kita menyaksikan secara jelas bagaimana perilaku negara-negara produsen pangan utama, misalnya Vietnam dan India, dalam menghadapi wabah Covid-19.
Negara-negara tersebut menerapkan strategi safety first. Mereka tidak mudah tergiur untuk melakukan transaksi perdagangan internasional dalam bentuk ekspor, sampai dia bisa memastikan bahwa produksi domestik dan stok pangannya mampu untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya hingga masa pandemi bisa teratasi.
Ketiga, pentingnya implementasi program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) secara konsisten dan berkelanjutan. Program ini sesungguhnya bertujuan mulia, yaitu untuk melindungi lahan sebagai faktor produksi yang penting bagi berlangsungnya proses produksi.
Dalam skala luas, rasanya hampir tidak mungkin mengembangkan pangan pokok tanpa menggunakan lahan. Karena itu, perlindungan dan konservasi lahan mutlak dilakukan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian yang telah terjadi secara masif dan ‘berkelanjutan’.
Pada sisi lain, kita menyadari bahwa kemampuan teknis dan finansial pemerintah untuk ‘mencetak lahan pertanian’ tidak sebanding dengan laju konversi lahan pertanian. Tambahan lagi, dinamika pembangunan dan pertumbuhan penduduk mau tidak mau pasti memerlukan lahan, baik untuk mendukung fasilitas perkantoran, perumahan, industri, dll.
Konsekuensi logisnya adalah desain program pembangunan sektor pangan harus berbasis PLP2B. Artinya harus ada perbedaan signifikan antara benefit yang diterima oleh petani peserta PLP2B dibandingkan dengan petani yang tidak mengikuti PLP2B.