Oleh : Dr Desintha Dwi Asriani
Dosen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada
PERAYAAN Hari Kartini biasanya lekat dengan pertanyaan apakah kebaya dan konde adalah simbol yang relevan untuk mengenang pahlawan emansipasi Kartini? Perdebatan lainnya sering juga terkait dengan mengapa Kartini yang dijadikan sebagai penanda gerakan emansipasi perempuan, bukan perempuan pejuang lainnya?
Kini, wabah Covid-19 menjadikan diskusi tentang Hari Kartini sepertinya berubah. Dampak pandemi telah memaksa individu untuk mengubah gaya hidup secara drastis termasuk cara memaknainya. Manusia tidak lagi disibukan untuk saling mempertontonkan kemampuannya dalam melakukan perayaan, melainkan cara bertahan di tengah kecemasan karena mobilitas terbatas.
Situasi penuh ketidakpastian juga menjadikan sebagian dari masyarakat hanya ingin fokus pada pertanyaan kapan pandemi ini berakhir, tidak yang lainnya. Merayakan atau memperdebatkan makna Hari Kartini bisa jadi tidak sepenting sebelumnya.
Namun, pengalaman dirumahkan, diisolasi, dan dikurung sebenarnya adalah keseharian yang lekat dengan sosok Kartini. Melalui catatan sejarah dan surat-surat Kartini mengungkap pengalaman dipingit tidak hanya sekadar soal ketidakberdayaan, kerapuhan, dan keputusasaan.
Kehidupan Kartini sejatinya menunjukkan kompleksitas masalah sosial yang terjadi di zamannya dimana pada beberapa hal juga relevan di situasi krisis saat ini. Sebelum para feminis (Barat) semakin ramai mempermasalahkan ancaman patriarkhi, surat-surat Kartini telah menunjukkan bahwa struktur masyarakat yang timpang.
Di mana kepentingan perempuan tidak terlalu diperhatikan adalah benar membudaya di Indonesia terutama tanah Jawa. Di zaman Kartini, situasi tersebut menyulitkan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama terhadap pendidikan. Dalam situasi krisis ini ketimpangan tersebut mengakibatkan mekanisme penanganan bencana yang abai terhadap dampak khusus yang dirasakan perempuan.
Akibatnya penanganan pandemi menjadi tidak cukup efektif ketika dampak krisis justru meningkatkan sejumlah risiko terhadap kelompok perempuan. Seperti beban kerja domestik yang berlipat, sulitnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencari perlindungan dan terbatasnya akses perempuan terhadap layanan kesehatan reproduksi. Para pekerja informal dan jasa yang kebanyakan berjenis kelamin perempuan juga menjadi lebih berisiko terpapar virus tanpa akses terhadap fasilitas kesehatan yang cukup.
Tulisan Kartini juga menyiratkan bahwa patriarkhi tidak pernah berdiri sendiri. Jauh sebelum teori Foucault tentang relasi kuasa semakin dikenal, Kartini telah membongkar bagaimana kelestarian patriarkhi saat itu. Kelestariannya senantiasa ditopang campur tangan struktur kekuasaan yang terbingkai tradisi feodal, agama, dan kolonialisme.
Saat ini terutama dalam situasi krisis, absenya perspektif jender dalam penanganan bencana bisa jadi karena budaya patriarkhi yang sudah ada semakin diperkuat biasnya politik kekuasaan pada level negara dan bahkan komunitas. Para pengambil kebijakan disusun berdasar orientasi penanganan kedaruratan bencana yang cenderung mengarah pada upaya antisipasi resesi ekonomi, kesehatan fisik, dan stabilitas politik nasional.
Representasi perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam tim kaji cepat tidak begitu diperhitungkan karena dampak sosial bencana tidak menjadi bagian dari kepentingan (neoliberal) yang ingin disuarakan. Akibatnya, sama halnya Kartini waktu itu, kesulitan yang dialami perempuan dan kelompok rentan lainnya saat krisis ini menjadi semakin kompleks karena tidak ada antisipasi dan model penanganan dampak sosial yang tepat.
Merenungkan kisah Kartini saat pandemi mungkin adalah bentuk sejati dari perayaan Hari Kartini saat ini. Dalam sunyi suasana karantina, kita dapat gamblang menyaksikan ke mana gerak kuasa sebenarnya bekerja.
Dalam berbagai keterbatasan kita juga dapat melihat sejauh mana politik kesehatan dan pengelolaan sumber daya yang sesungguhnya dilakukan. Setidaknya Kartini juga mengingatkan bahwa tidak pernah ada batasan atau penjara bagi yang namanya akal, gagasan, dan cita-cita. Jadi sambil terus memonitor respons para penguasa terhadap pandemi, kita dapat bersama-sama menguatkan cita-cita dan strategi. Terkait bagaimana struktur masyarakat yang pincang ini dapat semakin diperbaiki. Baik di saat sulit ini maupun setelah wabah usai. (Penulis adalah Dosen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada)-d