analisis-kr

Kekerasan Terhadap Perempuan

Sabtu, 25 November 2017 | 23:17 WIB

FENOMENA kekerasan terhadap perempuan seperti gunung es, hanya sedikit yang nampak di permukaan. Fakta kejadian sebenarnya cukup banyak namun tersembunyi. Kasus pembunuhan terhadap dokter Lety di Jakarta yang ditembak suaminya ketika masih dalam proses perceraian adalah kekerasan perempuan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini sekaligus memperteguh keyakinan bahwa KDRT bersifat lintaskelas, tidak memandang status sosial ekonomi, tingkat pendidikan maupun etnis dan agama.

KDRT merupakan bentuk nyata kekerasan berbasis jender. Meskipun pelaporan kasus-kasus semakin meningkat, namun mitos KDRT merupakan aib bagi keluarga jika perempuan bersuara, masih diyakini di masyarakat. Meskipun Undang-undang No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan sudah lama disahkan dan diimplementasikan namun data kenaikan kasus-kasus KDRT signifikan dari tahun ke tahun. Kasuskasus ini belum termasuk data kekerasan psikologis dalam rumah tangga. Juga pelantaran perempuan (dan anak) oleh suami.

Data menunjukkan, kasus kekerasan seksual semakin meningkat. Masih segar dalam ingatan kita, kejadian tragis yaitu perkosaan YY di Bengkulu, kasus perkosaan yang menimpa EF di Tangerang. Juga pembunuhan gadis difabel di Sedayu Bantul pekan ini. Rasa kemanusiaan kita tercabik-cabik atas peristiwa tragis tersebut. Belum lagi banyaknya kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi di belahan negeri tercinta ini, menjadi catatan kelam perjalanan perjuangan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.

Meningkatnya kasus-kasus kekerasan berbasis jender ini, mengingatkan kita akan pembahasan Rancangan Undangundang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang belum disahkan. Karena itu RUU PKS, menjadi sangat urgen untuk segera disahkan sebagai wujud komitmen negara melindungi perempuan dari berbagai kasus kekerasan seksual. Kita harus bersepakat bahwa kasus kekerasan seksual merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus kekerasan seksual bukan semata-mata atau jangan direduksi sebatas masalah moralitas dan kesusilaan semata. Namun merupakan potret ketimpangan relasi baik di ranah domestik maupun publik.

Masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan sampai detik ini, menjadikan momen 25 November adalah penanda yang sangat penting untuk meneguhkan komitmen dan memperkuat gerakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dijelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenangñwenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Oleh karena itu, alasan bahwa setiap tanggal 25 November ini dipilih sebagai peringatan hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan karena adanya pengakuan atas terjadinya kekerasan berbasis jender.

Merunut sejarah, 25 November dipilih, untuk mengingat dan bentuk penghormatan atas wafatnya Mirabal bersaudara yaitu Patria, Minerva dan Maria Teresa yang dibunuh secara keji oleh kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika tahun 1960. Mirabal bersaudara adalah simbol perlawanan kediktatoran untuk mewujudkan keadilan dan negara yang demokratis. Tanggal 25 November diperingati sebagai hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merupakan bentuk pengakuan adanya kekerasan berbasis jender pada tahun 1981.

Komnas Perempuan telah mengidentifikasi berbagai bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis jender : perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, ancaman atau percobaan pemerkosaan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk seksual, dan pemaksaan kontrasepsi. Masih tinggi angka kekerasan terhadap perempuan ini, maka komitmen untuk menghapuskannya juga telah dituangkan dalam indikator Sustainability Development Goals (SDGs) tujuan kelima.

Untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, upaya yang serius melindungi perempuan sebagai warga negara dan sekaligus sebagai pemenuhan atas hak-haknya harus dilakukan. Pemerintah dari level nasional sampai desa juga masyarakat harus melakukan upaya pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban dan menindak pelaku sehingga kekerasan terhadap perempuan dapat dihapuskan. Semua harus berkomitmen membangun sebuah dunia yang damai, peradaban baru yang ramah pada perempuan.

Halaman:

Tags

Terkini

Mudik Virtual

Jumat, 22 Mei 2020 | 11:56 WIB

Pasar Rakyat

Senin, 18 Mei 2020 | 01:52 WIB

Digitalisasi Buku

Sabtu, 16 Mei 2020 | 05:12 WIB

Akhir Pandemi

Jumat, 15 Mei 2020 | 04:44 WIB

Kerja Sama

Kamis, 14 Mei 2020 | 08:24 WIB

BST dan Pandemi

Rabu, 13 Mei 2020 | 02:30 WIB

Era New Normal

Selasa, 12 Mei 2020 | 09:56 WIB

Daya Tahan PTS

Senin, 11 Mei 2020 | 08:20 WIB

Pandeminomics

Sabtu, 9 Mei 2020 | 09:41 WIB

Ruang Sosial

Jumat, 8 Mei 2020 | 07:28 WIB

Didi Adalah Kita

Rabu, 6 Mei 2020 | 06:00 WIB

Kembalinya Pendidikan Keluarga

Selasa, 5 Mei 2020 | 07:24 WIB

Disrupsi Pangan

Senin, 4 Mei 2020 | 05:24 WIB

Belajar dari Covid-19

Sabtu, 2 Mei 2020 | 09:25 WIB

Menyelamatkan UMKM

Kamis, 30 April 2020 | 02:12 WIB

'Virus Sosial'

Rabu, 29 April 2020 | 08:00 WIB

Kampung Istimewa

Selasa, 28 April 2020 | 01:27 WIB

Sanksi PSBB

Senin, 27 April 2020 | 06:45 WIB

'Password Stuffing'

Sabtu, 25 April 2020 | 11:07 WIB

THR Bagi PNS

Jumat, 24 April 2020 | 05:47 WIB