Ditingkat PAUD serta di tingkat pendidikan dasar dan menengah, masih kurang disadari sebagai basis pendidikan yang penting. Sehingga di tingkat ini, kualifikasi guru, gaji guru, sarana prasarana dan sebagainya, mutu dan standarnya bisa ‘dimaafkan’ seadanya. Guru di tingkat PAUD atau SD dianggap pekerjaan sepele, Sehingga gurunya boleh siapa saja, dan kesejahteraannya juga boleh dibayar berapa saja.
Dalam tiga dekade terakhir ini sekolah seakan menjadi ajang uji coba, atau setidaknya ada praktik-praktik kependidikan yang melioristik, yakni sesewaktu, darurat, mencoba-coba dan tambal sulam. Akibat lebih jauh tenaga pendidik, dalam hal ini guru, seringkali tidak dapat mengaitkan antara tugas sebagai pendidik dengan berbagai implikasi perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang semakin cepat (Surachmad, 1988).
Guru adalah tokoh kunci dalam kemajuan pendidikan karena jika pintu kelas sudah tertutup, guru dapat ‘melakukan apa saja’, tanpa diketahui oleh siapapun kecuali yang di dalam kelas. Kalau guru tidak profesional, apa jadinya proses pembelajaran di kelas tersebut ?
Sialnya lembaga penghasil guru, yakni LPTK telah berubah kelamin menjadi universitas dengan menambah ‘ilmu murni’ (sebuah istilah guyonan untuk membedakannya dengan ilmu kependidikan). Sehingga keahlian ‘khusus’ di bidang ilmu kependidikan menjadi pertanyaan besar.
(Prof Dr Saratri Wilonoyudho. Guru Besar Unnes dan Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 4 November 2017)