DIPASTIKAN Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) No 2/2017 tentang Ormas disahkan dalam Rapat Sidang Paripurna DPR RI, karena 7 Fraksi telah menyetujui : PDIP, Golkar,PPP, Demokrat, Hanura, NasDem, dan PKB. Hanya 3 Fraksi yang menolak : PAN, Gerindra dan PKS. Artinya kita akan memiliki UU Ormas baru, yakni UU No 2/2017 yang akan resmi berlaku 30 hari ke depan setelah dimasukkan dalam Lembaran Negara. Jika dibaca dalam batas-batas penalaran hukum, sesungguhnya kehadiran UU ormas baru ini mengandung jebakan pada Pemerintahan Jokowi. Karena menuju pemerintahan yang tertawan oleh logika politik dan mengabaikan hukum dalam kebijakannya.
Substansi isi utama yang membedakan UU Ormas dengan yang lama ialah pada model pembubaran ormas. Dari proses pengadilan (due process of law)melalui pengadilan (yudisial) berubah ke arah hukum administrasi negara. Ini dilakukan dengan memberi porsi yang lebih kuat pada pemerintah untuk membubarkan ormas yang diduga mengancam kedaulatan negara dan ideologi Pancasila.
Secara philosofis pembubaran ormas melalui prosedur administrasi negara tentu tidak tepat. Karena kebebasan untuk berserikat dan berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara tanpa diskriminasi yang wajib dilindungi oleh negara. Ketentuan Pasal 28 dan 28E ayat (3) dan Pasal 24 UU No 39/1999 tentang HAM secara prinsip menyebutkan, bahwa setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. Hal serupa juga dirumuskan dalam Pasal 22 Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 12/2005. Karena berserikat menyangkut hak asasi yang tidak dapat diubah oleh siapapun. Jika ormas dipahami sebagai rumah bagi warga negara untuk berserikat dan berpendapat, pembubarannya haruslah menempuh jalan pemenuhan hak setiap warga negara untuk didengar dan diberi kesempatan membela diri. Caranya, dengan melalui prosedur pengadilan, bukan prosedur administrasi.
Kehadiran UU Ormas baru ini di satu sisi berniat baik hendak menjaga kedaulatan negara dan khittah Pancasila. Sebagai dasar utama bernegara, Pancasila harus menjadi pemandu jalannya semua kegiatan organisasi masyarakat di Indonesia. Itulah sebabnya tak boleh ada satu anak bangsapun di negeri ini yang meragukan Pancasila sebagai konsensus bersama apalagi hendak menggantikannya dengan ideologi lainnya. Namun di sisi yang lain, niat yang haruslah disertai dengan pilihan cara-cara yang baik pula. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum(rechstaat), bukan negara kekuasaan(machstaat). Karena itu seluruh kebijakan negara yang bertujuan menjaga kedaulatan negara haruslah berdasarkan pada prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945. Artinya kedaulatan negara tidak serta merta boleh menelikungi kedaulatan rakyat.
Prinsip demokrasi mengajarkan, bahwa demokrasi memberi ruang paling bebas kepada siapapun untuk berkumpul, berserikat dan berpendapat, sepanjang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian sekalipun terhadap musuh demokrasi. Bahkan demokrasi secara moral demokrasi juga mengajarkan ‘membunuh’ musuh demokrasipun harus dengan cara-cara paling demokratis, yakni berdasarkan prosedur legalitas (hukum).
Tentu saja Pemerintahan Jokowi dalam menegakkan kedaulatan negara dan ideologi Pancasila haruslah memberi ruang pada dialog dan membuka ruang pembinaan. Kalaupun ada ormas yang ‘nakal’ maka cara yang ditempuh untuk membubarkannya adalah memilih cara paling elegan, yakni proses peradilan†(due process of law).
Publik perlu mengingatkan dan mengawal Pemerintahan Jokowi agar tak terjebak ke jalan otoriter dan despotik. Sejarah juga menunjukkan bahwa kerap kali UU dijadikan sebagai tameng dan alat untuk kepentingan kekuasaan politik sebuah rezim. Karena UU adalah produk politik dibuat DPR dan Presiden sesuai ketentuan Pasal 20 UUD 1945, maka sesungguhnya tak pernah ada UU yang dibuat dalam setting netral akan kepentingan pembuatnya.
Maka cara yang tersedia untuk menyelamatkan Pemerintahan Jokowi dari jebakan politik otoriter adalah perlu mendorong publik untuk melakukan uji materil terhadap UU Ormas baru ini ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI). Tujuannya agar MK RI menafsirkan ketentuan UU Ormas ini bertentangan atau tidak dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, kedaulatan rakyat (demokrasi), dan UUD 1945.