BANTUL, KRJogja.com - Wacana naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) membuat petani lahan pasir ketar ketir. Sejauh ini petani kawasan pesisir selatan Bantul menjadikan BBM jenis bensin untuk menggerakan mesin pompa untuk penyiraman. Jika benar BBM harganya melejit , hal tersebut jadi persoalan serius bagi petani.
Seorang petani lahan pasir di kawasan Pantai Samas, Kalurahan Srigading, Kapanewon Sanden, Sancoko, Senin (22/8) mengatakan, meski 50 % lebih petani lahan pasir beralih ke pompa air listrik. Tetapi masih banyak petani mengandalkan air sedotan mesin diesel untuk penyiraman. Karena lokasi lahan pertanian jauh dari jaringan listrik.
"Lahan pertanian yang tak jauh dari JJLS Selatan Jawa memang sudah menggunakan listrik untuk pompa air. Tetapi yang jauh dari jalur kabel listrik PLN juga menggunakan pompa air berbahan bakar bensin," ujarnya. Kenaikan harga BBM pasti berdampak pada petani yang selama ini disokong mesin pompa air berbahan bakar bensin. Apalagi petani sejauh ini belum boleh membeli BBM pertalite dan harus menggunakan pertamax yang harganya jauh lebih tinggi.
Sancoko menjelaskan, ketika menggunakan pompa air bensin. Dalam sehari, dua kali siram pagi dan sore menghabiskan dana Rp 40.000, untuk beaya pembelian BBM. Tetapi ketika menggunakan listrik dalam sehari siram biaya hanya paling Rp 10.000,. Artinya jika menggunakan listrik menghemat hampir diatas 70 %.
Sementara Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, Kabupaten Bantul, Joko Waluyo justru memberikan sebaliknya, bahwa sebagian besar petani yang bercocok tanam di lahan pasir sudah pompa air listrik. Sehingga bila harga BMM benar naik, tidak terlalu berpengaruh terhadap petani di lahan pasir.
Sementara untuk meredam dampak kekeringan, Joko mengatakan pihaknya menyiapkan ratusan pompa air dengan menggunakan bahan bakar gas dan bukan lagi menggunakan bensin atau solar.
"Kita dari dinas sudah menyiapkan hampir seribu pompa air untuk mengantisipasi kekeringan atau irigasi yang rusak atau dalam perbaikan," ujarnya. (Roy)