BANTUL, KRJOGJA.com - Setelah sempat didiskualifikasi di kelas Kata Usia Dini Putri, Tajyuan Qarirul Mustaqim atau yang biasa dipanggil Yuka seorang siswi kelas 3 SD Bantul Timur (Bantim) akhirnya mampu masuk final di kelas Kumite Usia Dini Putri - 25 Kg dan menyabet medali perak dalam kejuaraan karate Internasional bertajuk 'Mayor of Surabaya International Karate' di GOR DBL Kompleks Graha Pena Jalan Ahmad Yani Surabaya, Jumat - Minggu (26-28/07/2019).
"Saya bersyukur akhirnya masuk final meskipun hanya juara 2 dan menyabet medali perak," ujar Yuka saat ditemui KRJOGJA.com di kediamannya Cangkring Sumberagung Jetis Bantul usai pulang dari Surabaya, Senin (29/07/2019).
Kejuaraan tersebut diikuti sekitar 2.000 atlet dari seluruh Indonesia dan atlet luar negeri seperti negara Malta, Malaysia dan Brunai Darussalam. Karena banyaknya even di DIY membuat Yuka saat terpaksa berangkat sendiri tanpa tim dengan memakai nama kontingen SD Bantul Timur tanpa didampingi official dan pelatih.
Meski begitu Yuka yakin mampu menghadapi atlet-atlet dari daerah lain di Indonesia maupun atlet luar negeri. Sebelumnya anak pertama pasangan Yusron Mustaqim dan Andyn Meilyndawati menargetkan dapat meraih medali dalam kelas Kata.
Namun karena saat pemanggilan atlet, Yuka tak bisa masuk ke dalam tatami pertandingan maka juri memutuskan untuk mendiskualifikasi dan tak bisa bermain. Terang saja keputusan itu membuat Yuka frustasi dan menangis. Hal itu bukan sepenuhnya kesalahan atlet tetapi kurang adanya koordinasi panitia yang melakukan pemanggilan atlet di warming up room.
Karena saat itu atlet Usia Dini Putri yang ada di warning up room dipanggil untuk persiapan tanding karena kelas sebelumnya yakni Pra Usia Dini Putri hampir selesai. Tetapi saat Yuka naik ke waiting room ternyata kelas Kata Usia Dini Putri sudah mulai. Dari 4 pool dengan atlet sekitar 37 orang saat itu Yuka berada di pool 1 main diurutkan kedua.
"Saat itulah kami menuju ke waiting room tetapi susah masuk karena dipenuhi orang tua maupun atlet yang sebenarnya belum mendapat giliran main. Padahal dalam technical meeting sudah dijelaskan gamblang kalau waiting room itu dipersiapkan untuk atlet yang mau main dan semua harus menunggu di warming up room. Sebagai orang tua kami sangat kecewa dengan kondisi seperti ini, panitia juga tidak tegas karena kami sudah jauh-jauh datang ke Surabaya mengikuti kejuaraan internasional tetapi aturan tak ada bedanya dengan kejuaraan di daerah yang masih semrawut," tambah Andyn menjelaskan.