Yani menyebutkan, pintu masuk makam berbentuk lengkungan menyerupai pelangi, melambangkan tujuh warna (mijikuhibiniu), menciptakan keindahan. Sekaligus menggambarkan bahwa Giri Sapto diperuntukan bagi berbagai seniman yang berprestasi, dikenal masyarakat luas, dan mendapat penghargaan dari pemerintah.
"Pak Sapto berpikir bahwa surga atau langit itu lapis tujuh, pelangi jumlah warnanya tujuh, dan Sapto juga bermakna tujuh, makanya dinamakan Giri Sapto, Makam Seniman dan Budayawan Pengharum Bangsa. Karena para budayawan dan senimanlah yang mengharumkan nama bangsa lewat karya-karya mereka," jelas Yani.
Giri Sapto, paparnya, terasa adem dengan seratus pohon langka (pemberian Dinas Perkebunan, Bogor), penataan makam yang estetik-terbagi dalam tujuh lantai.
Setiap lantai ditandai dengan gentong besar bertuliskan aksara Jawa, berisi falsafah hidup orang Jawa. Antara lain suradira jayaningrat lebur dening pangastuti (segala sifat murka atau keras hati hanya bisa dikalahkan oleh kebijaksanaan, kesabaran, dan kelembutan) dan jer basuki mawa beya (mengajarkan manusia untuk senantiasa bekerja keras dalam menggapai apa yang diinginkan).
Hingga kini sudah ada enam puluh lima seniman/budayawan yang dimakamkan. Pertama kali yang dimakamkan adalah mendiang Soedarmadji (pimpinan keroncong RRI Semarang) tahun 1990, disusul Kusbini, L. Manik, Handung Kussudyarsana, GM Sudarta, Ki Ledjar Subroto, Hasmi, Kirdjomulyo, Bondan Nusantara, Iman Budhi Santosa, dan lain-lainnya. Belakangan ini yang dimakamkan adalah Jemek Supardi dan Djoko Pekik. (Khocil Birawa)