Krjogja.com - BANTUL - Pameran seni bertajuk Akar Rasa Setara resmi dibuka, Selasa 30 September 2024, sebagai bagian penting dari launching Equalitera Artspace yang ada di Ringroad Barat Tamantirto Kasihan Bantul. Pameran yang mempertemukan 35 seniman inklusi ini akan berlangsung hingga 14 Oktober mendatang.
Akar Rasa Setara, merupakan gabungan dari tiga kata yang dijadikan menjadi satu frasa. Akar dimaksudkan sumber dari sebuah keadaan, Rasa merupakan estetika khas Indonesia Bahasa/citra artistik didefinisikan sebagai rasa.
"Akar Rasa Setara, dimaknai sebagai tradisi, adat istiadat, kearifan lokal, dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Nusantara, yang disadari atau tidak, memiliki spirit kesetaraan atau inklusivitas," ungkap Nano Warsono, Direktur Equalitera Artspace yang juga kurator pameran.
Spirit inklusivitas disebutkan Nano tercermin dalam beberapa hal di antaranya, gotong royong yang tumbuh di masyarakat. Sebagai contoh, abdi dalem Polowijan di Keraton Yogyakarta memposisikan pentingnya keberadaan disabilitas, serta Punakawan dalam cerita pewayangan. Akar Rasa Setara, merupakan ruang pertemuan inklusif para pelaku seni dengan latar belakang yang berbeda-beda.
"Khususnya, mempertemukan seniman disabilitas dan non disabiltas dalam sebuah pameran bersama. Sehingga dapat menjalin komunikasi dan bertukar pengalaman melalui karya seni," lanjutnya lagi.
Pameran Akar Rasa Setara diikuti 35 seniman dan 4 komunitas/kelompok. Mereka adalah:
Alfian Rahmadani, Anfield Wibowo, Antino Restu Aji, Apud Budianto, Bernard Wora Wari,
Ddienopop, Dwi Putro, Edi Priyanto, Eri Saktiawan, Herman Priyono, Jajang Kawentar, Kireina Jud Aisyah, Mahendra Pampam, Nasirun, Oky Rey Montha, Putu Sutawijaya, Raden Roro Pramayasti Hamid, Ratih Alsaira, Riki Antoni, Rofitasari Rahayu, Salasatul Hidayah, Siam Candra Artista, Supriyono, Suwarno Wisetrotomo, Theresia Agustina Sitompul, Ugo Untoro, Wiji Astuti, Win Dwi Laksono, Winda Karunadhita, Yaksa Agus, Yanal Desmond, Yaya Maria, Yogi Suganda Siregar, Yuni Darlena, Zakka Nurul Giffani Hadi. Komunitas adalah Para Rupa,
Pawiyatan, POTADS dan PRISM Project
Dalam pembukaan, tampil kelompok musik GANDANA yang sangat unik. Grup ini beranggotakan enam personil yakni Nanang Garuda (biola), Frans (gitar), Kholis (difabel fisik) pada bas, Malik (drum), Aat dan Reza.
Aat dan Reza keduanya tottaly blind sebagai vokalis sekaligus fluid (seruling). GANDANA sendiri lahir dan dibidani Yayasan Joga Disability Arts (JDA) pada akhir 2023.
Gandana berasal dari kata Ganda Guna. Memaknai alat bantu disabilitas dengan fungsi (guna) lainnya. Karenanya, kelompok musik ini memodifikasi berbagai alat bantu difabel menjadi alat musik.
Kursi roda menjadi drum. Krug menjadi bas, gitar, biola. Dan tongkat putih menjadi seruling. GANDANA telah merilis album perdana bertajuk On the Map, pada Juni 2024.
Sementara, Equalitera Artspace memiliki makna yang diambil dari kata Equality (setara) dan terra, yang berarti tanah atau bumi, tempat hidup. Sedang Litera, diambil dari literasi, dimaknai sebagai pengetahuan, keterampilan dalam aktivitas tertentu.
Equalitera, diartikan sebagai tempat hidupnya pengetahuan dan ketrampilan yang mengedepankan kesetaraan.Adapun, peran dan tujuan yang hendak dicapai Equalitera artspace yakni ingin menjadi ruang presentasi seni yang layak bagi disabilitas pelaku seni, menjadi ruang pertemuan dan kolaborasi gagasan, serta kreativitas antara pelaku seni disabiltas dengan non disabilitas.
"Equalitera dapat menjadi ruang edukasi seni yang inklusif, menjadi wadah pengembangan
karier disabilitas pelaku seni, equalitera turut berperan mewujudkan ekosistem seni yang
inklusif, serta melakukan pewacanaan dan pengarsipan berbagai kegiatan seni disabilitas," pungkas Nano. (Fxh)