bantul

Nuon dan Playup Luncurkan Harmoni Nusantara di ISI Yogya Dukung Musisi Lokal, Pongki Barata Ungkap Pandangan Hak Cipta

Sabtu, 20 September 2025 | 14:50 WIB
Dialog Harmoni Nusantara di ISI Yogyakarta (Harminanto)



Krjogja.com - BANTUL - Nuon Digital Indonesia (Nuon) bersama Playup melalui layanan Playup by Langit Musik resmi meluncurkan gerakan Harmoni Nusantara dengan tema Yogyakarta untuk Indonesia dan Dunia, Sabtu (20/9/2025).

Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Playup by Langit Musik dan Yayasan Tunas Bakti Indonesia Emas serta didukung Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sebagai langkah nyata mendukung musisi lokal sekaligus memberikan solusi legal penggunaan musik di ruang publik.

Gerakan Harmoni Nusantara menjadi wadah bagi musisi daerah untuk meningkatkan, mengembangkan, dan mendistribusikan karya mereka ke platform digital.

Dengan kapabilitas Nuon, karya musisi dapat menjangkau Digital Streaming Platform (DSP) maupun Nada Sambung Pribadi (NSP), sehingga peluang ekspose dan monetisasi semakin besar.

Gerakan ini memberikan ruang edukasi, eksposur, dan penghargaan yang diharapkan dapat melahirkan akses pendengar, memperkaya ekosistem musik nasional, sekaligus memperkuat nilai budaya lokal.

CEO Nuon, Aris Sudewo, menegaskan pentingnya menjaga karya musisi lokal sekaligus membuka akses lebih luas bagi hasil musik negeri.

"Harmoni Nusantara adalah langkah untuk membawa musik lokal ke ranah digital agar bisa dinikmati masyarakat luas sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi penciptanya," ungkap Aris dalam dialog peluncuran di ISI.

Sementara, CEO Playup, Pascal Lasmana, menyoroti aspek legalitas pemanfaatan musik di ruang publik yang hingga kini masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha. Playup ingin menjawab keresahan pelaku usaha terkait penggunaan musik.

"Dengan Playup, kami ingin menjawab keresahan pelaku usaha terkait penggunaan musik. Layanan ini memastikan musik di ruang publik dapat digunakan secara legal dan transparan, bahkan membuka peluang pendapatan baru melalui audio ads," ungkap Pascal.

Ketua Yayasan Tunas Bakti Indonesia Emas, Acep Somantri, menambahkan pentingnya kolaborasi dalam mendukung gerakan ini.

Gerakan menjadi contoh konkret bagaimana kolaborasi lintas sektor antara industri, akademisi, komunitas, dan pelaku kreatif dapat membuat Yogyakarta semakin maju.

"Dengan semangat ini, kita bisa membangun ekosistem musik yang sehat dan berkelanjutan," tandasnya.

Wakil Rektor I ISI Yogyakarta, Dr. Dewanto Sukistono, M.Sn., menyampaikan, ISI Yogyakarta sangat mengapresiasi Harmoni Nusantara yang diluncurkan di kampusnya. Kegiatan ini sejalan dengan salah satu tujuan kampus yaitu untuk mendorong hilirisasi karya seni.

"Untuk karya seni, khususnya musik, yang tidak hanya bermanfaat bagi musisi tapi juga masyarakat luas. Melalui platform digital, karya seni dapat memberikan dampak yang lebih luas ke pasar global, sekaligus memperkuat identitas budaya kita," ungkapnya.

Acara peluncuran di Yogyakarta ini juga menghadirkan diskusi bersama musisi Pongki Barata, perwakilan Yayasan Tunas Bakti Indonesia Emas Anis Ilahi Wahdati, CEO Playup Pascal Lasmana, CEO Nuon Aris Sudewo, serta VP Digital Music Nuon Adib Hidayat.

Diskusi ini menyoroti implementasi UU Hak Cipta, sistem royalti yang adil, hingga peran teknologi dalam menghadirkan transparansi data.

Isu mengenai UU Hak Cipta dan royalti sering menjadi perhatian. Namun sebenarnya, kafe, restoran, hotel, dan tempat komersial lainnya justru bisa meraih banyak manfaat dengan memutar musik secara legal.

Selain menghadirkan suasana lebih hidup bagi pelanggan, langkah ini sekaligus menjadi bentuk apresiasi kepada musisi serta mendukung pertumbuhan industri musik nasional.

Pongki Barata, musisi yang juga pencipta lagu mendiskusikan bahwa perlindungan hak cipta bagi musisi di Indonesia belum cukup detail. Ia menekankan pentingnya tata kelola royalti yang transparan, adil dan berkelanjutan agar profesi musisi bisa lebih dihargai.

“Kalau saya bicara dalam kapasitas sebagai musisi, tugas saya sederhana: bagaimana angka-angka entah itu 100, 200, atau 180 kali pemutaran bisa benar-benar menjadi uang, menjadi pendapatan yang adil bagi pencipta maupun pelaku musik. Jawaban singkat saya sudah lumayan, tapi belum cukup membanggakan," ungkap Pongki yang dahulu merupakan vokalis utama Jikustik ini.

Menurut Pongki, persoalan utama terletak pada sifat UU Hak Cipta yang terlalu umum. Regulasi tersebut mengatur berbagai karya cipta mulai dari musik, film, seni rupa, hingga tulisan, sehingga perlindungan khusus bagi musisi masih kurang mendetail.

"Kalau kita bicara ideal, seharusnya ada Undang-Undang Musik tersendiri. Dengan begitu, profesi musisi bisa lebih dihargai dan lebih diakui secara spesifik. Indonesia baru merdeka 78 tahun, dan baru belakangan ini kita mulai merapikan sistem royalti. Jadi memang jalannya masih panjang," ungkapnya.

Ia menegaskan, penghargaan terhadap hak cipta seharusnya menjadi kesepakatan dasar antara musisi dan pengguna karya. Musisi dihargai dari kreativitasnya, sementara pengguna karya tidak merasa terbebani karena sistemnya jelas, tarif wajar dan tata kelolanya transparan.

"Sayangnya, di Indonesia banyak yang masih belum terbiasa, bahkan untuk hal sederhana seperti mencantumkan nama pencipta ketika meng-cover lagu di YouTube. Padahal, sekadar menulis nama pencipta itu bentuk penghargaan yang paling dasar," tegasnya.

Pongki mendorong adanya sistem tata kelola musik yang rapi dan berkelanjutan. Idealnya, menurut dia, sistem iberjalan otomatis di mana royalti bisa ditransfer rutin, misalnya tiap minggu atau tiap bulan, dengan basis data yang jelas, sehingga pendapatan musisi bisa terukur dan terus bertumbuh. (Fxh)

Tags

Terkini

Gelar Budaya 2025 di SMA N 1 Pundong

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:30 WIB

Decimal Fest 2025, Jembatan Bank BPD DIY Raih Gen Z

Minggu, 14 Desember 2025 | 06:42 WIB

3.393 PPPK Paruh Waktu di Bantul Dilantik

Jumat, 12 Desember 2025 | 14:00 WIB