TEGALREJO? Bagi saya yang kelahiran dan tumbuh kembang di Yogyakarta tempat tersebut tidaklah asing. Karena keluarga eyang saya tinggal tak jauh dari kawasan Tegalrejo.
Tapi, saya baru tahu secara historis (bukan legenda)  bahwa Tegalrejo merupakan tempat yang menyimpan sejarah samar-samar akan eksistensi seorang perempuan perkasa yang membentuk karakter heroik  Pangeran Diponeoro dari Buku Takdir yang ditulis oleh seorang sejarawan Inggris, Peter Carey.
Buku tersebut saya baca sekitar empat tahun yang lalu dan berulang-ulang. Karena saya terpesona oleh perempuan perkasa tersebut: Ratu Ageng Tegalrejo, pendiri Tegalrejo. Daya pesonanya mendorong saya untuk melakukan semacam riset untuk menulis tentangnya dan mementaskannya dalam bentuk visual.
Untuk memperkaya tulisan saya, saya pun menjumpai Peter Carey yang puluhan tahun meneliti Pangeran Diponegoro dan Ratu Ageng Tegalrejo mempunyai peran penting di dalamnya.
Anti Pencitraan:Â Konsentrasi Membangun Negeri
Ratu Ageng Tegalrejo (1735-1803), nama kecilnya Niken Ayu Yuwati. Ia Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I (HB I, 1717 – 1792). Selain dikenal agamis, ia juga penungggang kuda yang tangguh, sangat mahir menggunakan senjata perang gagrak tradisional maupun modern pada zamannya.
Jiwanya yang nasionalis, membuatnya gigih dalam melawan kaum penjajah (Belanda). Berkat kecerdasan dan kelembutannya ia menekuni berbagai ilmu pengetahuan, kemudian menjadi ahli literasi, seni-budaya.
Tahun 1792, Niken Ayu Yuwati meninggalkan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Alasannya, selain suaminya wafat juga  karena kecewa terhadap tingkah-polah putranya (Raden Sundoro yang kemudian diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono II), yang melangggar ajaran agama, etika dan budi pekerti.
Kemudian, Permaisuri HB I tersebut membuka hutan yang terletak di sebelah barat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia bercocok tanam, beternak ikan, unggas, sapi, kerbau dan membudidayakan berbagai pohon buah-buahan, pohon pelindung lingkungan maupun untuk bangunan rumah.
Apa yang ia kerjakan bersama punggawanya sangat berhasil untuk menghidupi dirinya, pengawalnya dan rakyat sekitarnya. Lahan yang dikelolanya diberi nama Tegalrejo, artinya ladang yang subur makmur. Kemudian Niken Ayu Yuwati dikenal dengan nama sebutan Ratu Ageng Tegalrejo.
Menjelang berusia 60 tahun, Ratu Ageng Tegalrejo mengambil cicitnya, Mustahar alias Raden Mas Ontowiryo (nama kecil Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengkubuwono III). Waktu itu usia cucunya baru berusia enam tahun,  untuk diasuh di Tegalrejo.  Tujuannya agar  cicitnya itu tumbuh dewasa berakhlak mulia.
Maka selain dididiknya penuh disiplin, juga ditanamkan pendidikan agama dan cinta Tanah Air  yang kuat, seni budaya, berbagai ilmu pengetahuan (ia mendirikan semacam perpustakaan) dan merakyat – asih wong cilik. Pangeran Diponegoro menuliskan hal tersebut  dalam riwayat hidupnya: Babad Diponegoro.