Selama di Tanah Suci, Mbah Dalijan juga mengaku tidak begitu mengalami kendala. Jikapun harus jalan, hal itu bukan halangan karena tiap harinya Mbah Dalijan yang berangkat bareng salah satu anaknya terbiasa jalan kaki. Bahkan setelah mendaftar haji sekitar 2014 lalu, Mbah Dalijan rutin jalan pagi dan cek kesehatan di puskesmas terdekat.
"Kalau jalan keluar keringat malah badan rasanya enak. Jadi sudah biasa," sambung pria sepuh yang kesehariannya bergelut dengan sapi peliharaan.
Selama di Madinah, Mbah Dalijan juga mengaku belum pernah putus ikut salat berjamaah di Nabawi. Termasuk juga sudah menyempatkan berdoa di Raudah yang merupakan taman surga serta tempat mustajab untuk berdoa. Eloknya meski sudah sepuh, ia kerap berangkat dan pulang sendiri. Tidak bingung dengan arah kembali ke hotel meski tiap pintu di Masjid Nabawi cenderung sama.
"Kalau di Makkah harus didampingi. Soalnya harus naik bis kalau ke Masjidil Haram. Sering ketemu jemaah Pakistan atau India dibilang Indonesia sambil acung jempol," jelasnya.
Dalam tiap prosesi peribadatan haji, Mbah Dalijan juga ingin melakukannya sendiri. Seperti halnya saat melontar jumrah di Jamarat, ia tidak ingin diwakilkan. Apalagi untuk jalan dari tenda pondokan sampai Jamarat, baginya tidak terlalu berat. Meski saat itu ada satu kendala yang sempat dihadapi.
"Saat jalan tiba-tiba nafas saya sesak. Saya berfikir, apakah memang akan putus ya di sini. Terus saat jalan harus didabyang (dipapah) dua orang. Tapi saat mau sampai tempat lempar itu sesaknya tiba-tiba ilang. Nafasnya bisa loss," ungkapnya.
Meski merasakan makanan yang baginya cukup enak saat di Tanah Suci, tapi Mbah Dalijan sangat kangen dengan masakan keluarganya. Karena itu ia meminta anak cucunya yang menjemput saat di Masjid Agung Sleman mau membawakan gulai atau tongseng menthok yang sangat diidamkan.
"Siap-siap dijemput anak cucu. Sudah pesan tongseng atau gulai menthok," selorohnya sambil terbahak.