BRICS juga berperan penting dalam mendorong reformasi tata kelola global yang lebih inklusif dan representatif. Kelompok ini aktif menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang dalam forum-forum internasional dan berupaya membangun sistem ekonomi multipolar yang lebih adil.
Dalam hal perdagangan internasional, BRICS telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Dari tahun 2000 hingga 2023, pangsa ekspor barang global BRICS meningkat dari 10,7 persen menjadi 23,3 persen, sementara pangsa G7 justru mengalami penurunan dari 45,1 persen menjadi 28,9 persen.
Potensi dan Tantangan BRICS
Potensi BRICS sangat besar dalam membentuk lanskap ekonomi global masa depan. IMF memproyeksikan bahwa negara-negara BRICS akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi global, dengan China saja diperkirakan akan menyumbang 22 persen dari pertumbuhan global dalam lima tahun ke depan.
Baca Juga: Astra Motor Yogyakarta Adakan Program Donor Darah
Goldman Sachs memprediksikan bahwa BRICS akan melampaui G7 dalam hal PDB pada tahun 2050, bahkan tanpa memperhitungkan anggota baru. Prediksi ini semakin mungkin terwujud dengan bergabungnya anggota-anggota baru yang memiliki potensi ekonomi besar. Secara kolektif, negara-negara BRICS mencakup sekitar 30% dari permukaan bumi dan 45% populasi global, menjadikannya kekuatan ekonomi yang sangat diperhitungkan.
Namun, BRICS juga menghadapi beberapa tantangan signifikan. Perbedaan kepentingan politik dan keamanan di antara negara anggota, termasuk hubungan dengan Amerika Serikat, serta sistem pemerintahan dan ideologi yang berbeda menjadi hambatan dalam pengambilan keputusan bersama. Contohnya, hubungan perdagangan antara India dan China yang relatif lemah akibat persaingan politik dan perselisihan wilayah.
Tantangan lain muncul dari dominasi ekonomi China yang PDB-nya lebih dari dua kali lipat dibandingkan gabungan keempat anggota awal lainnya. Meski demikian, India yang kini memiliki populasi lebih besar dari China mulai menjadi penyeimbang dalam dinamika internal BRICS. Hal ini terlihat dari struktur kepemilikan Bank Pembangunan Baru yang tidak memiliki pemegang saham dominan, hasil dari kesepakatan antara Beijing dan New Delhi.(*)