“Saya rasa, buku-buku saya lebih seperti kisah tradisional lama yang mewajah ulang,” kata Trollope pada 1993.
Keberaniannya untuk menghadirkan kembali waktu lampau dalam kehidupan hari ini tentu tak lepas dari cibiran.
Beberapa kaum pria menyebut jika karyanya tak lebih dari sekadar perkara remeh-temeh.
Baca Juga: Jarang Main di Arsenal, Arteta Tegaskan Status Gabriel Jesus
“Saya rasa, menganggap suatu hal besar lebih baik ketimbang hal kecil merupakan sebuah kesalahan edan,” katanya menentang cibiran itu.
Selain menulis, sosok Trollope juga berulang kali berperan sebagai juri untuk anugerah-anugerah sastra.
Ia juga mendarmabaktikan dirinya untuk pelbagai aktivitas amal, termasuk mendidik para narapidana dan pemuda tersesat (young offender).
Baca Juga: Penanganan Stunting, Eko Suwanto: Butuh Data Kependudukan yang Akurat
Kesuksesannya di panggung sastra dunia mesti berpeluk dengan hubungan pernikahan yang tak abadi.
Sejak pertama kali menikah di tahun 1966 saat berusia 23 tahun, Joanna Trollope setidaknya telah mengalami dua kali divorsi.
Namun, Trollope mengaku bahagia dengan hidupnya. Ia meninggalkan warisan moral yang layak jadi panutan.
“Novel-novel saya adalah ladang kenyamanan untuk orang-orang yang merasa putus asa, cemburu, atau apapun. Saya ingin buku saya bilang: ‘Nggak papa. Kita semua merasakan hal yang sama.’”, pesannya kepada The Guardian.
Selamat jalan begawan sastra Juliana Trollope. Terima kasih telah memberi cukup wejangan untuk hidup!
"Jakarta dan Bandung sekarang benar-benar menekan. Mereka terlihat berada dalam alur permainan yang bagus dan sudah sangat terbiasa dengan tekanan," ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyinggung Borneo yang menurutnya mulai merasakan tekanan persaingan, sesuatu yang sebelumnya tidak terlalu mereka alami. Kondisi tersebut, kata Van Gastel, menjadi bagian dari dinamika persaingan papan atas.