Selain kerja yang tidak manusiawai, para ABK ini dilaporkan menerima upah sangat minim. Tak sesuai standar yang sudah ditentukan baik di dalam negeri maupun internasional.
"Gaji lebih mengerikan lagi. Rata-rata paling tinggi US$ 150 per bulan dan hanya US$ 50 yang diterima di kapal dan US$ 100 diterima selesai kontrak dua tahun itu dipotong. Kalau dia kecelakaan atau minta pulang, hilang itu," tegasnya.
Iqbal menambahkan, selain masalah gaji minim, ABK WNI juga tak mendapat asuransi kesehatan. Padahal, kerja di sektor perikanan memiliki risiko yang sangat tinggi.
Ia menambahkan karena tak ada asuransi pengobatan, para ABK menggunakan daging ikan tuna untuk menutup luka.
Iqbal, menyadari muncul masalah ini disebabkan pengelolaan pekerja ABK sektor perikanan yang masih sangat buruk.
"Ini karena tata kelola di dalam negeri belum bagus dan tingkat internasional belum baik, di internasional ada namanya MLC (maratime law convention) yang mengurus masalah ABK, tapi ABK yang kerja di perikanan diperkecualikan," kata dia.
Bukan cuma itu, tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Taiwan memperburuk masalah ini. Ia pun mengaku tak bisa memberikan perlindungan maskimal karena hal itu.